#0 [Prolog] Pertemuan

#0 [Prolog] Pertemuan


Baiklah! Aku akan sekolah hari ini!, pikir Omorfa. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah, ia sangat menanti-nanti momen ini, ia ingin segera masuk dan segera belajar lagi. Beberapa hari yang lalu sebuah musibah menimpanya, ia mengalami peradangan di matanya membuat ia tak masuk sekolah selama delapan hari.
Anehnya ketika ia sembuh, tiba-tiba matanya dapat melihat aura orang lain. Karena khawatir, Omorfa dan kedua orang tuanya datang ke dukun untuk meminta pertolongan. Tapi hasilnya nihil, dukun itu tak dapat menolongnya. Ia mengatakan bahwa mata batin Omorfa telah terbuka dengan sempurna, dan ia tak mampu untuk menutupnya kembali. Entah apa yang dikatakan oleh dukun itu benar atau hanya omong kosong, Omorfa tidak mau ambil pusing.
Orang tua Omorfa memang masih khawatir akan apa yang dialami oleh putrinya, tapi mereka tak dapat menghalangi keinginan Omorfa untuk menimba ilmu. Bagi Omorfa, ilmu adalah segalanya, ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang ilmuan fisika yang hebat. Ia mulai tertarik pada IPA sejak ia menonton tayangan National Geographic yang membahas tentang mekanika kuantum. Selain itu, ia juga ingin mengungkap kejadian-kejadian aneh supernatural yang sering dibicarakan dari telinga ke telinga.
Karena niatnya yang kuat, mungkin dewa menjawab harapan Omorfa dengan cara membukakan mata batinnya tersebut. Tak ada rasa takut sedikit pun ketika ia menyadari bahwa matanya dapat melihat aura orang lain. Sebaliknya, perasaan dalam hati Omorfa semakin berkobar untuk mengungkap secara ilmiah apa yang ia alami sekarang.
Omorfa pun sampai di sekolah, ia diantar oleh orang tuanya ke kelasnya. Walaupun Omorfa menolak, tapi orang tuanya bersikukuh memaksa untuk mengantarkannya. Ketika berjalan di koridor sekolah, Omorfa melihat berbagai warna dari masing-masing orang yang ia lewati. Mulai dari hijau, biru, merah, ungu, dan hitam. Omorfa tak mengerti arti dari warna-warna tersebut, tapi instingnya mengatakan untuk menjauhi orang-orang yang memiliki aura hitam. Mungkin aku harus datang ke dukun itu lagi, pikirnya karena ingin memahami makna dari warna-warna yang ia lihat, namun Omorfa sendiri masih ragu dengan kredibilitas dukun tersebut.
Ia di sapa oleh teman-temannya, mereka adalah mantan teman sekelas Omorfa ketika ia berada di kelas satu. Mereka menanyakan kondisi Omorfa sekarang karena khawatir. Namun Omorfa hanya menjawab dengan canggung "Ah ..., jangan khawatir, aku baik-baik saja kok".
Kemudian ia masuk ke ruangan kelasnya, di sana terpampang label yang bertuliskan 'XI - IPA1'. Sebuah kelas sains, sekaligus kelas unggulan di sekolah ini. Sekolah ini, SMA Unggulan Internasional, memang terbilang besar, di kelas satu terdapat setidaknya 40 kelas dengan jumlah murid dua puluh lima orang per kelas, di kelas dua terdapat setidaknya 30 kelas, dan di kelas tiga, ada 25 kelas. Selain besar, sekolah ini juga terkenal dengan seleksinya yang ketat, banyak saingan dari seluruh dunia.
Namun di antara semua orang-orang terpilih yang masuk ke sekolah ini, sosok yang bernama Omorfa Paramoidis adalah siswa unggulan yang meraih prestasi luar biasa. Semua orang mengenalnya, setidaknya namanya. Selain karena kecantikannya, ia juga dikenal sebagai murid yang cerdas karena Omorfa menjadi juara umum ketika ia berada di kelas satu. Ia mendapatkan nilai rata-rata 9,8 dalam rapornya saat itu. Tapi, meskipun begitu, ia bukanlah orang yang sombong. Ia menaati aturan dan noma dengan baik, hal itu dibuktikan dengan apa yang ia akan lakukan sekarang. Ia akan memperkenalkan dirinya lagi di hadapan teman sekelasnya, karena tak ada seorang pun yang ia kenal di kelas itu kecuali Expni yang pernah ditolaknya.
Kemudian kelas pun di mulai, jam dinding menunjukkan angka tujuh dan pada hari ini, tepatnya hari kamis, kelas diawali oleh guru wali kelas yang kemudiab memanggil Omorfa ke depan, dan ia pun memperkenalkan dirinya di hadapan teman-teman baru.
Di sudut kelas paling belakang, Expni hanya cemberut mengingat kenangan pahit saat ia berada di kelas satu.
Tiba-tiba, di tengah perkenalannya datang seorang siswa yang terlambat.
"Maaf, saya terlambat." ucap pria itu dengan nafas terengah-engah dan memasang senyuman.
Omorfa melirik ke arah pintu, seketika itu matanya dikejutkan oleh sosok pria itu. Tubuhnya bergetar seketika, mulai dari ujung kaki hingga ujung helai rambutnya. Bulu kuduknya naik, matanya terbelalak kaget.
"Iblis ..." ucap Omorfa tanpa sadar. Seketika ia menyadari betapa buruknya ucapan dia tersebut, ia langsung menutup mulutnya tersebut.
Tapi sayangnya, pria itu mendengarnya.
"Hee ...," ucapnya dengan senyuman menyeringai disertai tatapan yang tajam, membuat Omorfa merasakan teror merasuk ke dalam dadanya.
Aura yang dimiliki oleh siswa itu lebih gelap dari siapa pun yang pernah Omorfa lihat. Gelap, gelap bagaikan langit malam. Pekat, pekat bagaikan dasar lautan. Sangat menakutkan, sangat mengerikan, membuat tubuh Omorfa merinding seketika. Matanya bersinar keemasan, memancarkan aura karismatik serta intimidasi.
Tapi di samping itu, Omorfa juga melihat aura keemasan yang tak kalah terangnya dibandingkan dengan kegelapan yang berada di sekitarnya.
mengapa?, pikir alinea sesaat.
Pertemuan itu berlalu begitu saja, kemudian pelajaran pun dimulai.
Omorfa tak dapat berkonsentrasi saat ia belajar. Memang ia sudah merasa lebih tenang dari sebelumnya. Namun saat ini ia malah merasa bersalah atas perkataan kasar yang beberapa waktu lalu ia ucapkan.
Biasanya, jika seseorang melihat sosok mengerikan seperti itu, kebanyakan dari mereka akan memilih untuk menjaga jarak. Namun tidak dengan Omorfa, ia akan meminta maaf jika ia merasa bahwa dirinya telah melukai hati seseorang, walaupun itu adalah pada seorang iblis sekalipun.
Haduuh, aku harus minta maaf ..., pikir Omorfa dengan anehnya. Kalau tidak salah namanya Putra Fajar ..., ia mengingat-ngingat.
Seingatnya, pria itu meraih peringkat pertama pada saat ia kelas satu, ia meraih nilai rata-rata 9,7. Ia sangat populer di kalangan perempuan karena ketampanannya. Ia juga terkenal dalam ruang lingkup dunia sebagai orang yang spesial. Namun Omorfa tidak dapat mengingat wajahnya dengan jelas, dalam ingatannya ia melihat sesuatu yang samar, seperti dihalangi oleh sesuatu.
Setelah beberapa jam pelajaran demi pelajaran terlewati, akhirnya waktu istirahat pun datang. Omorfa membulatkan tekadnya dan memberanikan diri mendekati Putra. Ia berdiri dari bangkunya, lalu melangkah sedikit demi sedikit.
Di setiap langkahnya, Omorfa menarik perhatian dari teman-teman sekelasnya yang lain tanpa ia sadari. Mereka heran dengan sikap Omorfa yang cukup aneh.
Gambaran mengerikan yang Omorfa lihat di matanya masihlah sama dengan sebelumnya. Tapi anehnya, rasa takut dan teror yang sebelumnya ia rasakan tidak menghantuinya lagi. Kali ini ia hanya merasakan gugup dalam hatinya.
"Anu, aku ingin meminta maaf." Ucap Omorfa dengan gugup.
"Untuk apa ...?" balas Putra, mata keemasannya yang menyala-nyala bertemu dengan mata Omorfa.
"Aku bicara tidak sopan padamu tadi ...," ucap Omorfa lagi.
"Hooh itu, jadi aku tidak salah dengar ya ..." ucap Putra kemudian memegang dagunya. "sebagai gantinya ... temani aku makan saat istirahat" tambahnya.
"Baiklah." balas Omorfa tanpa sedikit pun keraguan di hatinya, bagaimana pun Omorfa tetap merasa bersalah.
Omorfa membawa kotak bekalnya, ia pun mengikuti Putra ke kantin. Di kantin, Putra membeli basreng—baso goreng—, bala-bala, cimol—makanan sunda, aci di gemol—, telur gulung, dan Aqua gelas. Setelah itu, Omorfa digiring Putra ke taman.
Ia tidak membeli makanan yang mahal-mahal, entah apa yang dipikirkan oleh Putra Fajar itu.
Dalam perjalanan menuju taman mereka melewati sebuah koridor yang panjang. Lantainya berwarna putih mengkilap, dan dinding-dindingnya berwarna krem bersih. Di perjalanan sewaktu-waktu Omorfa disapa oleh temannya, dan ia menjawabnya dengan senyuman.
Putra berjalan di depan, sedangkan Omorfa mengikutnya di belakang. Pada saat Omorfa melihat punggung Putra yang begitu tegap, Omorfa merasa diingatkan pada sesuatu. Sesuatu yang benar-benar nostalgia, yang sudah lama sekali ia rasakan.
Namun Omorfa tak mampu memanggil kembali ingatan itu. Sesuatu yang samar serasa menghalangi pikirannya.
Selama perjalanan, Omorfa hanya termenung sambil memperhatikan Putra yang berada di depannya.
Kemudian ... mereka pun sampai.
Ini seperti piknik, pikir Omorfa. Mereka pun duduk di rerumputan hijau beratapkan hijaunya dedaunan pohon beringin.
Ia merasa bahwa dirinya belum pernah datang ke tempat ini. Meskipun ia tahu bahwa ada sebuah taman di sekolahnya, namun ia tidak ingat dengan daerah yang sedang ia tempati saat ini. Dan hal tersebut membuatnya merasa sedikit takut.
Banyak keganjilan yang dapat Omorfa rasakan di hatinya. Suasananya begitu sepi tanpa seorang pun berada di jarak pandangnya. Bahkan, ia tak dapat melihat burung-burung bertengger di atas ranting, maupun bunyinya suara jangkrik.
"Aku ingin mengobrol denganmu ...," ucap Putra memulai pembicaraan.
Omorfa, membuka kotak bekalnya dan dan mulai menyuapkan nasi pada mulutnya. Ia mengesampingkan pikiran-pikiran negatifnya dan mulai bertatapan dengan Putra.
"Boleh, mau bicara tentang apa?" balas Omorfa dengan santai dengan mengabaikan wujud mengerikan yang ada dalam matanya.
"Tadi, kau memanggilku 'Iblis' kan ...?" tanya Putra memastikan sambil mengunyah cimolnya.
"Ya, aku minta maaf ..." balas Omorfa dengan perasaan bersalah sambil menunduk sekali lagi. Sudah kuduga, aku pasti menyakiti hatinya ..., pikir Omorfa.
Kemudian Putra menelan cimolnya dan menatap Omorfa dengan serius.
Ia memajukan kepalanya seperti ular, hingga jarak antara keduanya benar-benar dekat. Tatapan Putra seakan mengatakan bahwa ia siap untuk menerkamnya kapan pun ia mau.
Namun Omorfa tak gentar, ia memandang lurus ke mata Putra, mata keemasan yang benar-benar indah sekaligus mengerikan.
"Aku ... memang seorang iblis." ucap Putra tanpa keraguan sedikitpun di wajahnya.
Omorfa memandang wajah itu, ia melihat sesuatu yang lain dari diri Putra yang tak bisa ia jelaskan. Tangannya tiba-tiba bergerak dengan sendirinya mencoba meraih Putra dengan perlahan.
Saat itu, Putra tidak tidak bergerak sedikit pun ia masih memasang wajah seriusnya.
Kemudian ..., tangan Omorfa pun menyentuh pipi Putra.
Selama beberapa saat Omorfa mengusap pipi Putra dengan lembut dan penuh perhatian. Putra tidak tahu apa yang dilakukan oleh Omorfa, namun ia tidak melawan. Kemudian ....
"Mengapa ..., kau menangis???" ucap Omorfa sambil mengusap pipi Putra dengan wajah kasihan. Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Omorfa. Baik Putra maupun Omorfa, keduanya tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya.
Namun ... pintu hati Putra serasa di dobrak.
"Aku ..., menangis ...?" ucap Putra. Kemudian air mata benar-benar keluar dari matanya. Putra benar-benar menangis, wajah serius dan mengintimidasi yang sebelumnya ia perlihatkan tiba-tiba berubah menjadi wajah yang bersedih.
Seperti ketika seseorang merasa shock, ketika mendengar kabar kematian kedua orang tuanya, Putra menangis tersedu-sedu.
Eh ...?! Eh ...?! Kenapa ...?!, Omorfa tidak tahu apa yang sedang terjadi. Entah mengapa, sebelumnya sebuah dorongan tiba-tiba muncul untuk mengatakan kalimat tersebut. Namun ia tidak tahu, bahwa semua akan berakhir seperti ini. Dirinya menjadi panik, ia tidak tahu harus berbuat apa.
—Kau memang masih cengeng seperti dulu
Tiba-tiba kalimat itu terbesit di kepala Omorfa. Lalu secara refleks, Omorfa mengusap pipi Putra, mengusap air matanya, seakan-akan bahwa hal tersebut memanglah yang seharusnya.
"Mengapa ... Omorfa .... Mengapa kamu ... bisa melihat hingga sejauh itu??" rintihnya.
Omorfa tak menjawab apa-apa, tangannya masih berada di pipi Putra.
Air matanya mengalir dengan indah. Bukan berwarna tawar, melainkan berwarna keemasan. Berkilau, bersinar, mengalir dari bola matanya, dan menetes di tangannya.
"Mengapa baru sekarang ..., Dewa?"
Putra pun mengusap air matanya sendiri dengan kedua tangannya.
Omorfa memang tidak dapat melihat sosok Putra yang berada di hadapannya dengan begitu jelas, namun ketika ia melihatnya, sebuah sosok laki-laki tiba-tiba terbayang di kepalanya. Benar-benar nostalgia, ia merasakannya. Namun Omorfa sendiri masih tidak mengerti dengan perasaan yang ada dalam dadanya tersebut.
Omorfa menunggu Putra hingga ia tenang. Lima menit telah berlalu, dan Putra pun sudah terlihat lebih baik.
"Aa~" ucap Omorfa menyodorkan telur gulung ke mulut Putra. "Kamu gak bisa makan sendiri saat ini kan?" tambahnya.
Entah sejak kapan mereka mulai akrab. Namun Omorfa merasa bahwa ini adalah yang seharusnya. Entah mengapa, perasaan itu terus muncul dan menguat seiring waktu berjalan.
Putra pun membuka mulutnya dan ia menggigit telur gulung yang dipegang Omorfa.
Kemudian mereka melanjutkan makan mereka sampai jam istirahat selesai.
Bel pun berbunyi, Omorfa dan Putra menuju ke kelas bersama.
Sesampainya di kelas, guru belum datang. Di samping itu, teman-teman Putra kebingungan melihat wajah Putra yang terlihat berantakan.
"Oi bro, kenapa lu? Jangan-jangan, lu ditolak Omorfa?" ucap salah satu temannya yang bernama Chopat.
Di mata Omorfa, Chopat terlihat memiliki aura berwarna merah darah, putih, dan setitik cahaya keemasan. Mungkin cahaya-keemasan- itu penyebab mereka bisa berteman, simpul Omorfa. Senyuman yang diberikan Putra padanya berbeda dengan yang ia perlihatkan pada temannya yang lain.
"Iya, gua di tolak ..." balas Putra sambil memegang kedua matanya.
"Seriusan lu? I know that feel bro ..." sahut Expni sambil mengusap punggung Putra.
"Kaga lah bangsat, mata gua cuma kena cabe,"
"Lah kok bisa wkwkwkwk"
Entah itu benar atau tidak teman-teman sekelasnya tidak membahas tentang itu lagi.
=========================    


Posted by castrix, Published at 22.25 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar