#10 Malam Pertama

#10 Malam Pertama


Huaaa, tadi itu benar-benar menegangkan ....
Aku benar-benar melamar Omorfa, tanganku masih bergetar hingga saat ini. Tapi semuanya berjalan lancar, ayah Omorfa merestui hubungan kami. Aku telah mengenal keluarga Omorfa sejak dulu ketika aku masih merupakan seorang manusia. Aku sering bermain bersamanya semenjak keluarganya pindah dari Israel ke Indonesia karena urusan pekerjaan ayahnya. Ngomong-ngomong, ayah Omorfa adalah seorang ahli nuklir. Mereka pindah ke Indonesia karena kontrak kerja di Indonesia, tepatnya di reaktor nuklir daerah Karangpawitan, Garut.
Aku memandang cincin emas yang berada di jari kelingkingku. Yah, sekarang aku telah memiliki seorang tunangan. Sebenarnya, kami akan melakukan ritual resminya pada hari Minggu nanti. Aku akan mengundang teman-temanku pada acara nanti untuk memenuhi janjiku beberapa hari yang lalu untuk mentraktir mereka.
"Moris, persiapannya udah beres belum?" tanyaku pada Moris yang sedang menyetir mobil.
"Semua sudah siap gusti."
"Bagus ..."
Kalau diingat-ingat kembali, sejak dulu Omorfa tak pernah berubah. Baik kecantikannya, maupun sifatnya, ia tetap seperti itu dan seperti itu. Dahulu kami adalah tetangga dekat, aku sering mengajaknya bermain. Sebenarnya, saat itu orang tuaku agak membatasi hubungan kami karena perbedaan keyakinan. Tapi aku ingin dekat dengan siapa pun, walaupun ia adalah anak seorang pembunuh berantai sekalipun. Kami bermain setiap sore, hingga matahari terbenam. Terkadang aku main ke rumahnya pula, ia memiliki berbagai jenis mainan seperti anak perempuan kebanyakan. Di antara berbagai jenis boneka binatang yang berada di kamarnya, Omorfa paling menyukai boneka beruang. Oh, tidak, aku jadi teringatkan kembali pada senyuman manisnya saat itu.
Tapi, hubungan kami tak berlangsung lama. Aku harus pindah ke Bandung untuk tinggal bersama nenek. Bagaimanapun juga nenekku sudah tua, ia tak dapat hidup sendiri. Kalau tidak salah, saat itu adalah ketika aku naik ke bangku SD. Yah, memang sudah lama sekali kami berpisah.
"Haaah ..."
Aku menghela nafas.
Rasanya cukup melelahkan.
Moris pun mencoba melihat keadaanku dari kaca depan mobil.
"Apa anda baik-baik saja gusti?"
"Eeemh?
Ya, aku baik-baik saja ...
Aku akan tidur sebentar."
Kurasa hal tersebut adalah pilihan yang tepat. Aku pun menutup mataku.
***
Jam menunjukkan angka tujuh malam. Aku terbangun dari tidurku.
"Hoaaam ....."
Aku benar-benar tertidur pulas, rasa lelahku telah benar-benar hilang. Menggunakan wujud manusia memang lebih melelahkan, terutama ketika aku berada di dekat Omorfa. Aku harus menekan kekuatanku agar Omorfa tak merasa terganggu. Namun dengan tidur seperti ini, aku merasa lebih baik. Untuk saat ini, akan kubiarkan auraku mengalir hingga Omorfa sampai di rumah.
Aku merengangkan otot-ototku sambil menguap. Kemudian aku melihat ke samping kananku, kulihat Moris sedang berdiri di sana—dengan senyuman tulus.
"Omorfa udah ke sini belum?" tanyaku pada Moris.
"Sebentar lagi dia sampai gusti ..."
Aku pun mengangguk mendengar jawabannya.
Oh iya, aku baru ingat. Aku harus 'menodai' Omorfa lagi. Selama ini aku memang selalu berpegangan tangan dengannya, tapi itu tidaklah cukup, aura gelapku sepertinya sudah mulai menyusut.
Pernah terpikirkan olehku untuk membuat kontrak antara manusia dan iblis. Namun itu bukanlah ide yang bagus, hubunganku dengan Omorfa akan menjadi sebatas penyihir dan iblis atau tuan dan budak. Tapi sebenarnya ada cara lain yang lebih baik dari kontrak seperti itu, yaitu pernikahan. Pernikahan itu masih tergolongkan sebagai sebuah kontrak, namun ikatan pernikahan lebih kuat dari kontrak manapun. Pernikahan dimaksudkan untuk saling mendukung agar terjadinya keseimbangan. Kontrak pernikahan berakhir hingga salah satu kontraktor meninggal. Karena itu, kurasa pilihanku tepat.
"Emm, nanti bangunin lagi ya, aku mau minum dulu." ucapku pada Moris.
Kata 'minum' yang kumaksud adalah meminum darah para setan.
"Dimengerti ..." balas Moris sambil menundukkan kepalanya.
Aku pun menutup mataku lalu kembali ke dunia iblis.
***
Gambaran mulai terlihat jelas di mataku. Lalu aku disambut oleh suasana berat yang tidak nyaman. Kurasa ini adalah aura milik Satan. Entah apa yang sedang ia lakukan, hingga auranya terpancar sekuat ini. Tapi semua itu bukanlah urusanku.
Aku menegakkan badanku, kemudian aku melirik ke arah kiri. Di sana Satanackia sedang berdiri dengan penuh kesabaran. Meskipun ia sangat setia padaku, tapi aku masih agak sedikit terganggu dengan kepala dombanya.
"Satanackia ..."
"Ada apa gerangan wahai gustiku?"
Ia langsung membungkuk dengan kaki menyentuh lantai.
"Berdirilah ..."
Stanackia pun langsung berdiri seketika mendengar perintahku.
"Apa sudah ada kemajuan?" tanyaku padanya. Aku membicarakan tentang kasus penculikan.
"Mohon maaf, kami belum menemukan si durjana ..." balas Satanackia.
"Begitu ya ..."
Kejadian beberapa hari yang lalu itu benar-benar tak dapat ku anggap remeh. Sebenarnya aku ingin segera si durjana ditemukan, tapi sepertinya semua itu tak semudah yang kupikirkan.
"Mohon ampuni kami gusti ..."
Aku mengangguk menjawab permohonan maaf Satanackia.
Kemudian aku melirik ke salah satu pelayan yang berada di sampingku. Ia pun langsung menundukkan kepalanya sebagai tanda mengerti apa yang aku inginkan.
***
Omorfa kebingungan memilih pakaian yang akan ia gunakan untuk pergi ke rumah Putra. Awalnya, ia berniat untuk menggunakan gaun yang pernah diberikan oleh Putra, tapi ia kesulitan dengan cara mengenakannya. Dulu, ia dibantu oleh pelayan Putra tapi sekarang ia harus mengenakannya sendiri. Biasanya ingatan super miliknya selalu membantunya dalam kondisi seperti ini, namun kali ini ia benar-benar tak dapat melakukan apa-apa. Pada akhirnya ia mengenakan pakaian berwarna putih yang memiliki banyak renda dengan lengan panjang dan rok panjang.
Setelah bersiap-siap, Omorfa pun naik mobil pengangkut barang. Ia akan pergi menuju rumah Putra.
"Dah ayah, ibu ..." ucap Omorfa sambil melambaikan tangannya pada kedua orang gustiya.
"Iya, hati-hati di jalan ya ..." balas ibu Omorfa.
Mobil yang Omorfa tumpangi pun maju menjauh dari rumah kedua orang gustiya.
Sopir mobil tersebut sempat terkejut ketika menanyakan alamat yang dituju oleh Omorfa. Orang-orang di sekitar sini memang sudah tahu bahwa di alamat tersebut ada sebuah rumah yang besar dan mewah.
Perasaan senang bercampur sedikit kesedihan mengisi hati Omorfa. Ia senang karena mulai saat ini ia akan tinggal bersama Putra, dan ia sedih karena beberapa hari ke depan orang tuanya akan kembali ke Israel.
Di perjalanan, Omorfa melihat-lihat foto kenangan masa kecilnya. Di sebuah album yang cukup tebal itu tersimpan masa-masa ketika ia masih sering bermain bersama Putra dengan penuh rasa senang.
Omorfa pun membuka halaman berikutnya. Omorfa tertawa kecil ketika melihat wajah Putra yang dilumuri oleh krim dari kue ulang tahun Omorfa. Kemudian Omorfa membuka halaman-halaman yang lain untuk membangkitkan kenangan mereka.
Omorfa tak habis pikir, bisa-bisanya ia melupakan kenangan yang pernah dilaluinya ini. Ketika ia pertama kali melihat Putra di SMA, ia tak menyadarinya sama sekali. Dari sudut pandangnya, Putra telah tumbuh menjadi seorang pribadi yang benar-benar berbeda.
Dahulu, Putra adalah seorang anak yang lembut. Ia murah senyum dan selalu berbicara dengan nada yang rendah. Tapi saat ini ia telah berubah menjadi seseorang yang benar-benar berbeda.
Omorfa berpikir bahwa mungkin ia harus mengenal kepribadian Putra lebih dalam lagi. Bukan Putra yang dulu, namun Putra yang sekarang. Putra yang akan menjadi pendamping dalam hidupnya.
Setelah setengah jam mobil tersebut melaju, Omorfa pun sampai di rumah Putra. Ia langsung disambut hangat oleh Putra dan para pelayannya di depan pintu.
"Selamat datang Omorfa." ucap Putra.
"Terimakasih ..." balas Omorfa tersenyum tulus sambil keluar dari mobil pengangkut barang.
Sinar rembulan merefleksikan kecantikan Omorfa yang begitu menawan. Pakaiannya yang berwarna putih seakan bersinar di gelapnya malam, membuat Putra terpana dan tak dapat memalingkan pandangannya.
Saat itu keduanya merasa bahagia, karena mulai saat ini, mulai detik ini, mereka akan terus bersama.
Kemudian Putra pun meminta pekerja jasa angkut barang itu untuk menurunkan barang-barang milik Omorfa. Putra meminta mereka untuk menaruhnya di ruang tengah.
Ketika para pekerja tersebut masuk, mereka menunjukkan rasa kekagumannya melalui pandangan yang berbinar-binar.
"Huaa ..."
Ruang tengahnya rumah Putra begitu luas dan mewah. Saking luasnya, mungkin seseorang dapat bermain tenis di dalamnya. Lampu-lampu kuning yang berada di atasnya merefleksikan kemewahan dari kain-kain dan desain interior rumah Putra.
Omorfa dan Putra masuk terlebih dahulu meninggalkan para pekerja yang sedang mengangkut barang-barang milik Omorfa. Mereka menaiki sebuah tangga besar berkarpet merah yang berada di sebelah utara ruang tengah tepat di hadapan pintu, menuju lantai dua di mana ruang makan berada.
"Sekarang kita makan dulu aja ya ...
Kamu belum makan malam kan?" tanya Putra pada Omorfa.
"Iya, aku pengen kita makan bareng ..." balas Omorfa dengan senyuman.
Putra memeluk bahu Omorfa sambil berjalan menuju ruang makan.
Mereka pun sampai di ruang makan. Di atas meja makan telah tersedia beberapa makanan yang terlihat enak. Tapi di antara makanan-makanan yang berada di atas meja tersebut, pandangan Omorfa langsung tertuju pada opor ayam yang berada di sisi paling tengah.
"O-Opor!"
Putra tahu bahwa Omorfa sangat menyukai opor ayam, ia masih ingat dengan kenangannya sewaktu kecil.
"Jadi kamu masih suka opor ya Omorfa ..." ucap Putra memastika.
"Bangeeet!!!"
Ekspresi yang ditunjukkan oleh Omorfa saat itu benar-benar menawan. Tatapannya begitu jernih, senyumnya begitu lebar, tak ada hal yang lebih membahagiakan Putra kecuali ekspresi yang dimiliki Omorfa pada saat itu.
"Oke ... kalo gitu ayo kita santap!"
"Hmm!" angguk Omorfa mengiakan ucapan Putra.
Mereka pun menikmati makanan yang tersedia di sana dengan penuh rasa bahagia.
Setelah mereka selesai makan malam. Mereka berjalan menuju kamar mereka.
Ketika Omorfa sampai di dalam kamar, ia cukup terkejut ketika melihat sebuah boneka beruang raksasa yang bersandar di dinding kamar mereka.
"Huaa~!!! Besar banget!!!"
Putra hanya tersenyum melihat ekspresi bahagia Omorfa.
"L-Putra, ini bisa bergerak ga?" tanya Omorfa.
Tentu, boneka tersebut tak dapat bergerak.
"Bisa dong ..." balas Putra dengan nada sedikit menggoda.
"Gimana! Gimana!" ucap Omorfa dengan penuh rasa antusias.
Putra tidak pernah menduga bahwa respons yang diberikan oleh Omorfa akan sampai seperti ini. Ia pun berniat untuk memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.
"Oke, pertama kamu tutup mata kamu" ucap Putra.
"Udah di tutup!"
"Tunggu sebentar ya ..."
Putra pun berjalan pelan ke hadapan Omorfa. Kemudian ia mendekatkan bibirnya selagi Omorfa tak menyadarinya. Kemudian bibir mereka bertemu, lalu Putra pun langsung mengunci pergerakan Omorfa dengan memeluknya.
"Mana mungkin dong bonekanya bisa gerak ..." bisik Putra tepat di telinga Omorfa dengan begitu pelan.
"P-Putra ..."
Wajah Omorfa memerah seketika.
Dan malam panjang mereka pun dimulai.
***
Sementara itu
Trelis mengayunkan belati yang terbuat dari besi ke tangan Sheyn. Di setiap tusukan dapat terdengar suara darah menyiprat keluar.
"AAAAH! SAKIT! SAKIT!"
Terlihat jelas ekspresi puas sekaligus tersiksa dari wajah Sheyn yang menawan ketika belati tersebut di tusuk-tusukkan ke tangannya.
Sudah satu jam berlalu sejak Trelis menyiksanya, tapi kesadarannya masih tetap tinggal.
Lalu hal aneh terjadi, di tengah-tengah penyiksaannya Trelis tiba-tiba berhenti. Seketika itu pun, Sheyn merasakan kehadiran seseorang yang berbeda dalam tubuh Trelis.
"Ha ... ha ... ha ..."
Nafas Sheyn terengah-engah karena kelelahan.
"S-siapa kau? Ha ... ha ... ha ..." tanya Sheyn.
"Aku? Siapa lagi kalau bukan Trelis!" balas Trelis.
Terlihat ekspresi senang dari wajahnya.
"Bukan ... kau buka dia ..." ucap Sheyn.
Hal seperti ini pernah terjadi sebelumnya, ketika Trelis melakukan kontak pertamanya dengan Lucifer. Pada saat itu Sheyn di siksa habis-habisan dengan berbagai macam alat penyiksaan hingga ia tak sadarkan diri. Dan saat ini Sheyn merasa ketakutan apabila mendapatkan perlakuan yang serupa dengan sebelumnya.
"Hmm ... kau tak perlu menghawatirkannya Sheyn. Sebenarnya kau haus bersyukur karena aku telah bangun. Karena aku lebih baik hati ketimbang Trelis yang kau kenal ..."
"Apa maumu ..." tanya Sheyn.
Sampai saat ini Sheyn belum mengetahui alasan mengapa kepribadian yang lain dalam diri Trelis dapat bangkit seperti ini.
"Kau akan tahu pada saatnya tiba ..."
Trelis pun mengiris pergelangan tangannya dengan belati berwarna perak.
"Kemarilah ... aku akan membiarkanmu meminumnya ..." ucap Trelis.
Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Sheyn bangkit dari posisi terlentangnya untuk meminum darah Trelis.
"Minumlah anjing manisku, lalu cepatlah tumbuh ..." ucap Trelis sambil mengelus kepala Sheyn dengan lembutnya.
Muncul perasaan aneh dalam hati Sheyn. Ini adalah pertama kalinya Trelis memperlakukan dirinya selembut ini. Dalam hatinya, Sheyn merasa terharu sampai-sampai air matanya hampir keluar.
Begitu hangat ... begitu lembut ... begitu baik. Perasaan perasaan tersebut semakin kuat memenuhi hati Sheyn, hingga akhirnya ia meneteskan air matanya.
"Oh, oh, oh, udah, udah, jangan nangis ... maaf kalor aku suka kasar sama kamu ..."
Mendengar ucapan Trelis yang seperti itu, air mata Sheyn semakin membanjiri pipinya. Bagi Sheyn, ini adalah kebahagiaan yang tak tergantikan.
Setelah beberapa tegukan, Sheyn pun merasa aneh ....
"*Ohok!*"
Ia tersedak dan memuntahkan darah yang sedang diminumnya.
Tenggorokannya terasa panas, begitu panas seakan magma sedang mengalir di tenggorokannya.
"AAAH!! AAAAAAAAAAAAAAAAAH! SAKIT!!!!!"
Sheyn berteriak kesakitan, wajahnya terlihat sangat menderita bercampur kenikmatan.
"Oooh, sudah waktunya ya ..." ucap Trelis sambil menyeringai tajam.
========================

Posted by castrix, Published at 02.50 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar