#12 Kedamaian Semu

#12 Kedamaian Semu


"HAHAHAHAHAHAHA! Akhirnya! Akhirnya aku bisa keluar juga!"
Seorang pria berdiri di atas menara yang tinggi, ia merekam pemandangan kota dengan kedua matanya yang berwarna merah.
"Huaa ... di sana banyak sekali makanan yang terlihat enak ..., bukan begitu Sheyn?" tanya pria itu pada wanita berambut putih yang berada di sebelahnya.
Wanita itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam berlumuran darah tanpa lengan dan rok lurus dengan bagian samping yang terbelah memperlihatkan pahanya. Tangannya dilengkapi dengan sarung tangan berlumuran darah pula dan di kakinya terdapat sepatu hitam yang elegan. Di telinganya terdapat anting yang terbuat dari emas, menambah pancaran kecantikannya. Aroma tubuhnya begitu wangi, membuat siapa pun pasti terpikat padanya.
"Ya ... anda benar gusti. Tapi darah milik gusti adalah yang terbaik ...." balas wanita itu.
"Hmm ... meskipun kau bilang begitu, aku tak mau meminum darahku sendiri tahu." ucap pria tersebut.
"Kalau begitu, maukah anda meminum darahku gusti??" tanya wanita itu.
Ia menarik bagian leher pakaiannya, menunjukkan bahu putih dan mulusnya yang begitu menawan.
"Aku takkan menolaknya ..." balas pria itu sambil mendekatinya dengan tatapan penuh hawa nafsu.
***
-Dunia iblis
"Sepertinya 'ia' telah bangun, wahai gustiku." ucap seorang iblis pria pada Satan yang berada di hadapannya sambil membungkuk.
"Bagus ..., tinggal sebentar lagi ... tinggal sebentar lagi ...." balas Satan.
"...."
Seketika itu suasana di singgasana Satan berada dalam kesunyian.
***
-Rumah Putra
* Tok* Tok* Tok* Tok* Tok* Tok* Tok*
Omorfa sedang memotong-motong sayuran untuk persiapan sarapan.
"Maafkan kami nona Omorfa, kami tidak begitu banyak membantu ...." ucap salah seorang pelayan Putra.
"Aah ... gak perlu khawatir, aku gak keberatak kok ..." balas Omorfa sambil terus mengerjakan tugasnya.
Saat ini Omorfa sedang membuat satu dari sekian banyak makanan kesukaannya yaitu sayur lodeh. Hal yang membuat makanan ini begitu disukai oleh Omorfa adalah karena kuahnya yang sangat-sangat gurih. Kuah tersebut terbuat dari campuran santan dan rempah-rempah yang menimbulkan rasa nikmat yang meledak-ledak. Membayangkannya saja, perut Omorfa sudah merasa lapar.
Di samping itu ....
"Di situ, di situ ... ah~~"
Putra sedang memulihkan energinya dengan dibantu oleh Moris.
"Bagaimana gusti? Apa anda merasa baikan??" tanya Moris yang sedang menekankan badannya pada punggung Putra.
"Aah ... sekarang rasanya sudah baikan, sepertinya aku bisa pergi ke sekolah."
***
-Meja makan
"Hmm, hari ini sayur lodeh ya," ucap Putra terkesan. "Kebetulan banget, aku lagi mau makan yang gurih-gurih."
"Hehehe, makasih ...." balas Omorfa.
"Nona, sarapan yang anda buat memang selalu enak!" ucap Lunar dengan riangnya.
"Lunar, kita sedang berada di meja makan ..." timpal Moris memberi peringatan.
"Iya ..." balas Lunar.
Hari ini suasana di meja makan begitu ramai, seluruh pelayan memakan masakan yang dibuat oleh Omorfa.
Kejadian ini dimulai sejak kemarin, ia protes karena meja makan di ruang ini terlalu besar untuk mereka berdua, ia pun meminta Putra untuk mengundang para pelayan untuk makan bersama mereka. 'Krisis komunikasi dapat membuat seseorang menjadi individual!' katanya. Karena permintaan Omorfa yang seperti itu, Putra pun tak mampu menolak.
Awalnya, para pelayan merasa berat hati menerima undangan Putra, tapi pada akhirnya mereka malah menikmatinya. Dengan Putra dan Omorfa duduk bersebelahan, lalu diikuti oleh Moris yang duduk di samping Putra dan Dilsiz yang duduk di samping Omorfa, lalu diikuti oleh pelayan-pelayan lainnya, mereka menikmati sarapan dengan riang.
"Lunar, makan juga tomatnya ..." ucap Moris.
"Iya ...." balas Lunar.
Sarapan pun selesai, Putra dan Omorfa pun bergegas menuju sekolah. Mereka menggunakan mobil yang biasa digunakan oleh Putra saat ia sedang memiliki urusan penting. Awalnya, Putra berniat untuk naik angkot lagi, tapi ia mengurungkan niatnya demi keselamatan. Dengan Moris sebagai sopir dan Dilsiz yang duduk di jok depan mobil, lalu diikuti oleh Putra dan Omorfa yang duduk di jok tengah, mereka menikmati perjalanan ke sekolah.
Sambil menunggu sampai ke sekolah, Omorfa memeriksa VPhone-nya.
["Terjadi pembunuhan masal di rumah sakit Guntur, dua puluh orang tewas dengan kepala terpisah"]
["Delapan orang terluka atas insiden tersebut."]
["Kamera CCTV merekam seorang laki-laki yang diduga terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut"]
["Saat ini identitasnya masih dalam proses pencarian. Diduga bahwa ia masih berada di lingkungan sekitar"]
"Heh ...?"
"Putra, liat ..." ucap Omorfa sambil memperlihatkan VPhone-nya pada Putra.
"Hmm ... aku ludah tau kok ..." jawab Putra.
Tidak mengejutkan bagi Putra yang memiliki banyak mata-mata di sekitarnya, berita tersebut sudah datang ke telinganya sejak tadi pagi.
Putra pun melihat ekspresi khawatir yang ditampakkan oleh Omorfa, ia pun mengelus kepala Omorfa untuk menenangkannya.
"Tenang aja, nanti juga ketangkep kok ..."
"Hm," balas Omorfa mengangguk.
Setelah beberapa menit, mereka pun sampai di sekolah.
Mereka berjalan menuju gerbang masuk, lalu meneruskan langkah mereka melewati koridor sekolah dan akhirnya sampai di kelas.
"Yo, Putra!" sapa Chopat dengan riang.
"Yo," balas Putra.
***
"Yo, Putra!" sapa Chopat dengan riang.
"Yo," balasku.
"Omorfa juga, pagi ..." ucapnya sambil melihat ke arah Omorfa yang berada di sampingku.
"Pagi Chopat ..." seperti biasa, Omorfa membalas sapaan Chopat dengan sopan.
Aku dan Omorfa pun berpisah di pintu kelas. Sangat disayangkan, tapi aku mengerti bahwa ia tidak ingin terlalu terlibat dengan percakapan pria.
"Cie, kemarin-kemarin bolos, ngapain aja lu berdua ..."
"Sssh! Ssssh! Brisik lu!"
Kemudian Chopat pun melihat cincin yang terpasang di jari kelingkingku.
"Hoo, jadi gitu ya ..." ucap Chopat sambil tersenyum licik.
Oh tidak ... aku merasakan deja vu.
"OI SEMUA!!! PUTRA SAMA OMORFA TUNANGAN!!!"
Sudah kuduga akan seperti ...
"Waah masa?!" "Srius?!" "Beneran tuh?! ..."
Seketika itu kelas pun menjadi ricuh, aku hanya dapat memegang keningku kerepotan. Ada yang terkejut, ada yang memberi ucapan selamat, dan yang lainnya. Bukan berarti aku berniat menyembunyikannya, tapi jika sesuatu tentang pertunanganku diumumkan oleh orang seperti dia, semua akan menjadi ricuh seperti ini.
"Traktirannya kapan nih!!" "Iya tuh ..." "Mana janji lu yang kemarin ..." celetuk para siswa laki-laki yang berada di kelas ini.
("Hmm ... aku hampir lupa.")
Di samping itu, Omorfa kelihatan sama kerepotannya karena ditanyai oleh beberapa orang perempuan dalam satu waktu.
"Hadeeeh, tenang aja, gua ga lupa kok. Pernikahannya nanti hari minggu, dateng aja ke gereja Daemonic nanti."
"""""Wohooo!!!""""" semua bersorak.
"Lu emang yang terbaik Putra!" ucap Chopat padaku.
Entah itu pujian atau bukan, tapi aku terima saja karena ucapan itu datang dari temanku.
Setidaknya, pada saat-saat seperti ini, aku merasa seperti manusia.
Kemudian aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
"Y-yo, Trelis ..." sapa Chopat dengan nada canggung. Bagaimanapun Trelis jarang bersosialisasi di kelas, jadi agak canggung ketika memberinya salam. Tapi ... Trelis yang sekarang terlihat berbeda.
"Yo, Chopat! Yo, juga buat Luc-... Putra!" balasnya dengan riang, ia hampir saja menyebut nama iblisku. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya kali ini ia terlihat begitu bersahabat.
Aku yang menyadari keganjilan itu, langsung menatap tajam padanya.
"Siapa kau ...?" tanyaku dengan nada mengancam.
Trelis pun tersenyum seketika mendengar pertanyaanku itu, senyumannya seakan mengajakku untuk berkelahi.
Chopat yang menyadari tingkah laku ku yang seperti itu, langsung menepuk pundakku dengan pelan untuk menenangkanku.
"Udah, udah, pagi-pagi jangan pasang muka kaya gitu ..." ucapnya.
Aku pun melihat ke seluruh penjuru kelas, dan sepertinya aku malah menciptakan suasana yang buruk di pagi hari.
Haduh, haduh, apa yang aku lakukan.
Aku pun memutuskan untuk berpisah dari Trelis untuk menghindari konflik.
Pak guru pun masuk dan memecahkan suasana buruk yang kuciptakan.
***
-Sudut pandang Omorfa
Seketika Chopat mengumumkan pertunanganku dengan Putra, aku langsung menjadi sasaran empuk untuk ditanyai.
"Beneran Omorfa?" "Kamu udah ngapain aja sama dia?" "Gimana sih rasanya??"
Bermacam-macam pertanyaan dihujankan padaku dalam satu waktu, aku kebingungan akan menjawab pertanyaan yang mana dulu.
Kemudian, aku melihat seorang laki-laki masuk ke dalam kelas. Rambutnya berwarna putih dan matanya berwarna kecokelatan. Dari tubuhnya mengalir keluar aura berwarna ungu, aura tersebut mengalir deras menyelimuti sekelilingnya.
Dalam sekilas aku tidak dapat mengenalinya, tapi setelah kuperhatikan beberapa waktu, ternyata dia adalah Trelis. Si murid pindahan yang pernah datang ke rumahku secara tiba-tiba menanyakan alamat rumah Putra. Tapi aku tidak tahu apakah ia benar-benar datang ke rumah Putra atau tidak.
Trelis pun meneruskan langkahnya menuju bangku, namun ia berpapasan dengan Putra dan Chopat yang masih berada di samping pintu.
"Y-yo, Trelis ..." sapa Chopat dengan nada canggung.
"Yo, Chopat! Yo, juga buat Luc-... Putra!" balasnya dengan riang.
Entah mengapa Trelis yang berada di sana terasa berbeda dengan Trelis yang sebelum-sebelumnya.
Merasakan kejanggalan itu, Putra pun memandang tajam padanya. Bersamaan dengannya, ia mengeluarkan sejumlah aura berwarna hitam dari sekujur tubuhnya.
Gelap, gelap, membuatku sedikit merinding. Ingin aku menghentikannya, tapi aku terjebak di antara kerumunan teman-teman sekelasku.
"Siapa kau ...?" tanya Putra dengan nada mengancam.
Seketika itu seluruh kelas tenggelam dalam kesunyian.
Lalu, aku melihatnya. Trelis tersenyum, ia tersenyum mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Putra. Senyuman itu seakan berupa bentuk penghinaan dan mengajak Putra untuk berkelahi.
Kemudian-
*Pop*
Chopat menepuk pundak Putra untuk menenangkannya.
"Udah, udah, pagi-pagi jangan pasang muka kaya gitu ..." ucapnya.
Putra pun melihat keadaan sekitar yang membeku, ia pun segera berpisah dari Trelis lalu berjalan menuju bangku di sampingku untuk menghindari konflik.
Pak guru pun masuk dan memecahkan suasana.
"Omorfa, hati-hati sama Trelis." ucap Putra memberi peringatan.
Aku pun mengangguk mendengar ucapannya.
***
Istirahat pun datang.
"Akhirnya ...." ucap Chopat sambil meregangkan tubuhnya. Ia pun beranjak dari bangkunya lalu berjalan ke luar kelas menuju kantin.
Bersamaan dengannya, aku dan Omorfa pun sama-sama pergi ke kantin untuk membeli jajanan. Sebelumnya aku telah membuat beberapa rencana tentang jajanan yang akan aku beli. Pertama, aku membutuhkan protein dari telur gulung. Kedua, aku membutuhkan asupan karbohidrat dari roti. Ketiga, aku membutuhkan asupan gula dari teh gelas. Dan terakhir, aku membutuhkan asupan garam dari cimol yang dibumbui.
Itu yang aku pikirkan, tapi ternyata Omorfa sudah mempersiapkan bekal, jadi kami langsung bergegas menuju taman. Aku masih belum terbiasa dengan ini, tapi semua ini akan bekerja dengan sendirinya cepat atau lambat.
Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai di taman, tepatnya di bawah pohon beringin.
Aku dan Omorfa pun duduk berhadapan ditemani bekal yang Omorfa buat. Omorfa pun membuka dua kotak bekal yang ia siapkan.
"Telur gulung, nasi, cumi-cumi, rolade, sosis ..."
Campuran sempurna antara karbohidrat, protein, dan lemak. Seperti yang kuharapkan dari Omorfa, ia benar-benar mengerti diriku.
Lalu, dari tas jinjingnya ia mengeluarkan sesuatu seperti termos.
Ia membuka tutupnya, lalu menuangkan sesuatu ke dalamnya.
"Ini Putra, teh angetnya ..."
"Iya ..."
Aku mengangguk terkesan.
Kuambil tutup termos tersebut, lalu meneguk teh yang berada di dalamnya.
Hangat ... aku merasakan kehangatan mengalir ke kerongkonganku, menuju lambungku, dan meninggalkan sensasi nyaman dalam tubuhku. Lalu, aku pun mulai berkeringat.
"Ternyata bener ya, teh anget gak begitu cocok diminum siang-siang kaya ini ..." ucap Omorfa dengan ekspresi kecewa sambil mengelap keringat di keningku.
"Bukan berarti aku ga suka ..., tapi kayaknya emang lebih enak yang dingin-dingin ..."
Omorfa menganggukkan kepalanya.
"Coba sini termosnya." ucapku pada Omorfa sambil mengulurkan tanganku.
"E-emang mau diapain?" balasnya ragu-ragu.
"Sini aja ..."
"I-iya ..."
Omorfa pun memberikan termosnya padaku. Lalu aku pun menerimanya dan memejamkan mataku. Kufokuskan auraku pada termos tersebut dengan niat mendinginkannya.
Di pandanganku aku melihat gelombang air berwarna kuning kecokelatan. Kurasakan gelombang tersebut, lalu kupelankan gerakan partikelnya, kukurangi energi kinetiknya, lalu kuturunkan suhunya. Hey, ini bukan novel sci-fi! Yang perlu kulakukan hanyalah memfokuskan auraku pada isi termos yang aku pegang, lalu menurunkan suhunya dengan niatku. Setelah instingku merasa cukup, aku pun membuka mataku kembali.
"Nihhh, udah dingin ..." ucapku sambil memberikan termos tersebut.
"Masa sih ...?" balas Omorfa tidak percaya. Ia pun mengambilnya lalu mencoba menuangkannya pada tutup termos.
"Hm ..."
Omorfa memerhatikan air teh tersebut dengan seksama. Setelah itu ia mencelupkan jarinya dan mencoba untuk merasakan suhunya selema beberapa saat. Tidak puas dengan itu, ia mencoba untuk meneguknya.
*Gulp*
Seketika itu pun Omorfa memunculkan ekspresi heran.
"Kok bisa sih??" ucap Omorfa kesal, ekspresi wajahnya seakan mengatakan 'penjelasan ilmiahnya gimana?' pada air teh tak bersalah itu.
"Hukum fisika ga mempan sama iblis"
Entah mengapa aku menikmati ekspresi kesal Omorfa yang memperlihatkan salah satu bentuk kecantikannya.
'Muu~!' Omorfa mengembungkan pipinya.
Oh, imutnya ...
========================

Posted by castrix, Published at 02.51 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar