#4 Pangeran Neraka Ke Tujuh

#4 Pangeran Neraka Ke Tujuh

Aku telah menelepon orang tua Omorfa tadi. Untungnya, mereka baik-baik saja.
Awalnya aku menelepon kediaman mereka, tapi tak ada yang menjawabnya. Ternyata, listrik di daerah sana sedang padam. Sebelumnya, aku mengira bahwa mereka terlibat kecelakaan atau apapun. Tapi, ternyata mereka baik-baik saja.
Sudah satu jam aku berbaring di bawah pangkuan Dilsiz menunggu Omorfa untuk bangun. Tapi ..., jika seperti ini terus, mungkin aku malah ketiduran.
Dilsiz, dia adalah salah satu pelayanku. Ia adalah korban peperangan di Suriah yang sedang gencar-gencarnya saat ini, dan kedua orang tuanya telah meninggal pada peristiwa itu.
Ia memiliki sebuah kekurangan, yaitu mulutnya bisu. Andaikan ia dapat berbicara, mungkin ia adalah wanita ideal. Saat ini ia sedang mengusap kepalaku, setiap sentuhannya begitu lembut bagaikan seorang ibu.
Ibu, yah ....
Entah kapan terakhir kalinya aku bertemu dengan ibuku. Sayangnya saat ini mereka telah tiada. Ayah, ibu, dan nenek, mereka telah menghilang. Aku juga telah memutuskan segala hubunganku dengan keluarga yang lain. Ingatan mereka telah kuhapus, aku ragu apakah mereka masih mengingatku.
Mereka memang orang yang baik ... tapi hidup dengan para orang tua akan merepotkan. Lagipula saat ini aku sudah bukan manusia lagi.
Jam telah menunjukkan angka tujuh malam. Kurasa ... sudah waktunya untuk tidur. Maksudku, untuk kembali ke dunia bawah.
"Dilsiz, jika Omorfa bangun, maka bangunkan aku juga ...." ucapku pada Dilsiz.
Dilsiz hanya mengangguk sambil tersenyum, kemudian aku pergi ke ruangan tidurku. Kasur milikku berada satu ruangan dengan kasur yang sedang ditiduri Omorfa. Aku sengaja mengaturnya, agar kami tak terpisah terlalu jauh.
Aku pun membaringkan tubuhku, kelopak mataku pun tertutup sedikit demi sedikit.
***
Aku kembali ke dunia ini lagi ....
Kali ini aku sedang berada di istanaku. Istana ku ini sangatlah besar, hampir sama besar dengan istana milik Satan. Yah ..., di dunia ini aku adalah anak angkat dari Satan alias pangeran neraka ke tujuh. Aku juga memiliki seorang kakak yang bernama Mammon, tapi aku belum pernah bertemu dengannya kecuali pada saat pelantikanku menjadi anak angkat.
Yah, mungkin Mammon tak akan pernah mengakuiku sebagai adiknya. Bagaimanapun, aku dulunya merupakan seorang manusia yang derajatnya lebih rendah dari dia. Tapi aku tidak peduli, asalkan ia tak mengganggu ku.
Di dunia ini, biasanya aku mengatur banyak hal. Seperti mengatur perekonomian, melihat prajurit-prajuritku berlatih, kemudian memeriksa beberapa 'malaikat' di dunia manusia lalu menawarkan pertolongan pada mereka.
Sebagian besar negara-negara di neraka adalah negara militer. Namun ada pula kegiatan perekonomiannya, dunia ini tak jauh berbeda dengan dunia manusia. Baik itu bercocok tanam, berjual beli, dan kegiatan-kegiatan lain, semua tidak jauh berbeda. Ada yang hidup untuk keluarga mereka, ada yang hidup untuk meraih mimpi mereka, ada yang hidup untuk memperoleh kekayaan, dan ada pula yang hidup hanya untuk mengulangi keseharian.
Adapun para iblis yang pergi ke dunia manusia, jumlah mereka sangatlah jarang. Beberapa raja iblis memang memiliki wilayah di dunia manusia, sepertihalnya diriku. Kami biasa memperjualbelikan jiwa manusia yang telah mati untuk menambah umur, biasanya jiwa-jiwa itu hany diperuntukkan para iblis-iblis kaya atau bangsawan. Itulah mengapa perekonomian di negaraku lumayan stabil dibandingkan dengan negara-negara lain. Hanya saja yang menjadi titik berat dari kekuatan sebuah negara adalah pasukannya.
Sejak dua tahun yang lalu, aku telah menolong miliaran malaikat. Jumlah mereka sekitar 1/7 dari populasi manusia di seluruh dunia yang sebagian besar dari wilayah Asia. Seiring bertambahnya pengikutku, kekuatanku juga bertambah.
Di antara semua itu, kegiatan lain yang biasa kulakukan adalah memeriksa para setan yang berkeliaran di dunia. Aku sangat senang menghabisi nyawa mereka mereka, apalagi bila mereka berada di wilayah kekuasaanku—Asia dan Eropa—. Yah, walaupun aku tak dapat ikut campur dalam urusan di wilayah milik orang lain—Beelzebub, Afrika. Astaroth, Amerika—, aku melakukan sebisaku untuk menjaga wilayahku agar tetap bersih.
Sebelumnya sudah kujelaskan bahwa para setan adalah penyeimbang dunia. Harus ada kebaikan dan kejahatan, dan semua itu ditentukan oleh takdir.
Ya ..., aku menentang takdir. Aku tak suka dengan cara tuhan menyeimbangkan dunia. Jika aku ditanya antara memilih dunia yang seimbang dan tak seimbang, maka aku lebih memilih dunia yang tak seimbang, yang hanya dipenuhi oleh kebaikan saja. Meskipun karena hal itu dunia harus hancur, aku tidak peduli.
"Hari ini berapa setan yang kita dapatkan?" tanyaku pada Satanackia.
"Sekitar satu juta orang, Gusti ..." jawabnya.
"Bagus ...."
Kali ini aku sedang dalam perjalanan menuju tempat latihan militer, aku ingin melihat perkembangan mereka. Kita tak tahu kapan negara lain akan menyerang, jadi aku harus tetap berhati hati. Bagaimanapun dunia ini tidaklah damai seperti dunia manusia.
'Siapa yang kuat, dia yang berkuasa'. Begitulah hukum di dunia ini. Bahkan, jika kau ingin menjadi kaisar iblis yang selanjutnya, kau hanya perlu menyerang istana Satan. Yah, dengan syarat kau harus menang tentunya. Begitu pula dengan tahta 'pangeran' yang aku miliki. Siapa pun bisa merebutnya, asalkan ia dapat membunuhku.
Aku jadi teringat kembali ketika aku baru saja menjadi iblis selama satu bulan. Aku harus membersihkan empat belas legion yang dikirimkan oleh iblis Bael untuk mencoba kemampuanku. Untungnya, aku dapat menghancurkan sebelas Legion miliknya, dan tiga lainnya menjadi pengikutku. Dari situ, aku memerintahkan mereka untuk menyebar ke seluruh dunia manusia dan mencari para 'malaikat'.
Dan sekarang jadilah aku. Seorang pangeran neraka ke tujuh.
Hoho ..., di bawah sana aku melihat kedua jenderal ku sedang bertarung. Kalau tidak salah, mereka adalah jenderal dari legion ke sebelas—Paimon— dan tiga puluh—Beleth— dari empat puluh lima legion yang kumiliki.
Dengan asyiknya mereka bertarung di atas udara. Cahaya merah dan biru saling bertabrakan, menciptakan getaran-getaran yang luar biasa di udara.
Kemudian aku melihat Paimon jatuh ke tanah, lalu ia mempersiapkan lingkaran sihirnya.
"Terima ini, Beleth! Gerbang Abyss!" teriak Paimon.
Seketika itu muncullah sebuah gerbang raksasa di hadapan Paimon. Tapi ... untuk menggunakan Gerbang Abyss dibutuhkan waktu yang cukup lama. Kurasa ..., Beleth yang akan memenangkannya.
"Tch! Aku tak akan kalah! Lingkaran hitam!" balas Beleth.
Dari tangannya muncul sebuah bola berwarna hitam. Beleth pun melemparkan bola itu ke gerbang yang berada di depannya.
Meskipun ukuran dari bola itu kecil, tapi daya ledaknya begitu besar hingga dapat menghancurkan Gerbang Abyss milik Paimon dan membuat pemandangan di sana begitu gelap.
Tanpa diduga, Paimon mengeluarkan tombaknya lalu mengarahkannya ke leher Beleth. Mereka berdua pun berhenti dengan Paimon sebagai pemenangnya.
"Lumayan, lumayan ..." gumamku.
Perkembangan mereka begitu pesat berbeda dari setahun yang lalu. Aku bangga dengan mereka.
Sepertinya urusanku di sini sudah selesai. Aku akan kembali ke singgasanaku.
Yeah ..., ruangan ini memang benar-benar hebat. Lebarnya sebesar lapangan Baseball, tingginya lebih dari seratus meter. Dindingnya berwarna abu mengkilap dengan corak-corak berwarna hitam di sekitarnya. Ruangannya sangat terang-benderang dihiasi oleh cahaya putih keemasan yang datang dari medan sihir yang aku buat. Lantainya dihiasi oleh karpet yang berwarna merah.
Di belakang singgasana ku terdapat cairan merah yang mengalir di dinding-dindingnya. Cairan merah itu adalah darah-darah dari para setan yang telah aku bunuh. Setelah melewati proses tertentu, darah-darah itu akan menjadi minumanku yang meningkatkan kekuatanku. Rasanya kental dan manis, aku sangat menyukainya.
Di setiap sudut ruangan ini ada patung-patung yang menggambarkan wujudku. Yah, benar-benar wujud yang menyeramkan. Sebuah sosok besar bagaikan sebuah monster. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, seluruh tubuhnya tersusun dari tulang belulang. Di punggungnya, terdapat satu pasang sayap yang lebar dan terbuat dari tulang belulang pula. Ia memegang sebuah tongkat emas di tangan kirinya. Badannya ditutupi oleh sebuah jubah kerajaan berwarna hitam dengan sedikit corak-corak berwarna emas.
Ya ... itulah aku. Sang pangeran neraka ke tujuh. Lucifer.
***
Matahari mulai terbit dari arah timur, cahayanya menyinari wajah Omorfa lalu membangunkannya.
Omorfa pun terbangun dari tidurnya. Ketika ia membuka kedua matanya, ia terkejut karena berada di sebuah tempat yang tak dikenalinya.
Tempat apa ini ...?, pikir Omorfa.
Sebuah ruangan yang besar dan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi oleh ornamen-ornamen tanaman yang elegan dengan pintu yang cukup besar dan mungkin terbuat dari kayu jati. Kasur yang sedang didudukinya tak kalah besarnya pula, di bagian atasnya terdapat sebuah tirai yang memisahkan antara pandangannya dan atap ruangan tersebut. Selain besar, kasur yang sedang ia duduki tak kalah empuknya, sangat nyaman sehingga membuatnya ingin tidur kembali. Ia merasa seakan berada dalam kamar kerajaan yang pernah ia lihat di film-film.
Jam berapa ini ...?, tanya Omorfa dalam hatinya.
Di tempat ini tak ada satu pun pengingat waktu, yang ia lihat di sekitarnya hanyalah lemari-lemari besar dan satu buah meja belajar.
Kemudian, ia mendapati seorang pria sedang tidur di sebuah kasur besar yang tak jauh dari kasur yang sedang didudukinya. Ia beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju pria tersebut.
L-Putra ...?, pikir Omorfa.
Setelah sebelumnya ia melihat seorang pria menangis, kali ini ia melihat seorang pria yang sedang tertidur. Wajahnya begitu lugu dan terlihat sangat menikmati tidurnya, membuat Omorfa merasa bersalah jika membangunkannya.
Kemudian, seseorang membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan tersebut.
Di sana ia melihat seorang wanita dengan paras yang cantik. Kulitnya putih mulus dengan rambut berwarna cokelat terurai panjang. Wajahnya bagaikan orang timur dengan ciri khasnya yang sulit dijelaskan.
Wanita itu mengenakan baju pelayan yang sangat cocok dengannya. Baju pelayan tersebut berwarna biru dengan dilengkapi oleh lengan panjang dan rok yang panjang pula hingga ke tumit. Di setiap perpotongan lengan dan roknya dipenuhi oleh renda-renda berwarna putih. Di lehernya terdapat pita unik yang memiliki renda pula.
Dari sudut pandang Omorfa, wanita itu memiliki warna aura yang mirip dengan Putra. Berwarna hitam dengan campuran cahaya keemasan. Namun, aura hitam milik Putra lebih besar.
Apa jangan-jangan, ia seorang iblis juga?, pikirnya.
Wanita itu pun tersenyum setelah melihat sosok Omorfa yang berdiri di samping kasur Putra.
"Anu ... ini di mana ya ...?" tanya Omorfa pada wanita tersebut.
Omorfa kebingungan sambil menoleh ke segala arah namun wanita tersebut tidak menjawab. Wanita itu berjalan mendekat ke arah Putra kemudian membangunkannya tanpa suara.
Setelah beberapa waktu, Putra pun bangun.
"Oh ..., sudah pagi ya ..." gumam Putra sambil mengusap-usap matanya. "Hmm ... Omorfa, kamu udah bangun ya ....? Dilsiz, apakah sarapan sudah siap?" tanya Putra sambil menoleh ke arah wanita pelayan tersebut.
Hoo ... jadi namanya Dilsiz, gumam Omorfa dalam hatinya.
Dilsiz pun mengangguk tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Ayolah, Omorfa. Kita makan dulu." Ajak Putra.
"Oke ..." balas Omorfa, namun ia terdiam beberapa saat kemudian. "Eeeeh ..., tunggu! Kenapa aku bisa di sini???" tanyanya dengan suara agak keras.
"Nanti aja ... aku jelasin kalo udah makan—eh, mandi dulu ya ..."
Kemudian Omorfa mencium seragamnya. Ia mencium bau tak sedap dari tubuhnya. Namun bagi putra, aroma tersebut bagaikan feromon dan membangkitkan hasratnya tanpa ia sadari.
Seketika itu wajah Omorfa memerah karena malu.
"Dilsiz, tolong antar Omorfa ke kamar mandi ..." ucap Putra bersikap tenang, walau di dalam dirinya ada perasaan yang begejolak.
Dilsiz pun mengangguk dan menuntun Omorfa ke kamar mandi yang berada di sebelah kamar besar itu.
"Oh iya, kamu bisa pake baju punya Dilsiz dulu ya, Omorfa."
Mendengarnya, Omorfa mengangguk sambil berterima kasih dalam hatinya.
Kemudian Omorfa masuk ke kamar mandi. Di sana tersedia sebuah bak berukuran besar layaknya pemandian air panas. Setiap sudut ruangan dipenuhi dengan pencahayaan yang cukup. Di rak-rak sabunnya terdapat sampo dan sabun bermerek terkenal.
A-Apa?! I-ini Alterna Ten??! Yang harganya enam puluh dolar lebih itu?! T-trus ini ... sabun Jack Black yang harganya sekitar tiga puluh dolar?!, gumam Omorfa dalam hatinya.
Melihat merek-merek tersebut Omorfa tersenyum kecut.
"I-ini gak salah kan?" gumamnya.
Kemudian Dilsiz membuka pakaiannya dan menarik tangan Omorfa ke bak mandi.
"Eh, tunggu ..." Omorfa sedikit terkejut ketika Dilsiz menariknya.
Di dalam bak mandi yang berisikan air hangat, Dilsiz membasuh badannya, menggosok punggungnya, dan mencuci rambutnya.
OMG ini udah kaya di Spa aja ..., pikir Omorfa.
Setelah membasuh badannya, Omorfa menggosok giginya dengan sikat gigi dan odol bermerek 'Theoden'. Ia tidak tahu merek apa lagi ini, tapi yang pasti harganya bukan main-main.
Setelah selesai mandi, Dilsiz memasangkan handuk yang berbentuk pakaian dan menuntunnya ke sebuah kamar milik Dilsiz melewati kamar besar yang tadinya Omorfa tempati.
Dilsiz menutup pintu kamarnya, lalu membuka sebuah lemari besar yang berisikan pakaian-pakaian.
Ugh ... semuanya pakaian pelayan dan gaun. T-tapi, gaun ini lucu ..., pikir Omorfa.
Kemudian Dilsiz mengarahkan tangannya ke pakaian-pakaian yang tersedia di lemari tersebut, meminta Omorfa untuk memilih. Di sana ada gaun berwarna Pink, biru, putih, krem, dan pakaian pelayan yang sedang dikenakan Dilsiz. Sempat terlintas di benaknya untuk mengenakan pakaian pelayan itu karena terlihat sangat unik dan lucu di matanya. Namun ia harus mengurungkan niatnya, ia malu bila Putra melihatnya dengan pakaian seperti itu.
Kemudian Omorfa memilih gaun berwarna krem di sana. Ia pun dibantu Dilsiz untuk mengenakannya.
Setelah Omorfa selesai mengenakan gaunnya, ia keluar dari kamar Dilsiz menuju ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, Omorfa disambut oleh dua pelayan lain yang berjaga di samping pintu. Kemudian ia melihat Putra yang sedang duduk di sebuah kursi dengan meja panjang yang mewah, mengenakan baju santai biasa yang digunakan sehari-hari. Di sana ia juga melihat seorang pelayan lain yang berdiri di samping Putra.
Gak adil, pikir Omorfa, melihat bahwa Putra dapat bersikap santai seperti itu. Ia pun berjalan mendekat ke arah Putra sambil mengembungkan pipinya.
Dari sudut pandang Omorfa, seluruh pelayan yang berada di tempat itu memiliki aura yang mirip dengan Putra.
Salah satu dari dua pelayan yang tadinya berjaga di samping pintu berjalan menuju kursi yang berada di samping Putra dan menggeser kursinya ke belakang, lalu mempersilahkan Omorfa untuk duduk.
Putra terpana dengan kecantikan Omorfa yang mengenakan gaun dan menggunakan make up. Baru kali ini ia melihatnya, jantungnya berdebar-debar seiring langkah kaki Omorfa yang terus mendekat. Tapi ia mencoba untuk bersikap tenang di hadapannya.
Omorfa pun duduk di samping kiri Putra, dan bersiap untuk makan.
"Hei, Putra? Ini beneran rumah kamu?" bisik Omorfa pada Putra memastikan.
Jarak mereka berdekatan ketika Omorfa berbisik pada Putra. Bahkan ia dapat mencium bau parfum yang dikenakan oleh Omorfa.
Sialan si Scubbus itu! Ini pasti bukan parfum biasa!!, pikir Putra. Ia menahan dalam-dalam libidonya.
"E-emang rumah siapa lagi??" balas Putra.
"Hmm ..." Omorfa hanya mengangguk.
"Ok, waktunya makan ..." gumam Putra.
Kemudian dua orang pelayan masuk membawa sepiring makanan. Di piring tersebut tersedia sebuah steak daging sapi sebagai lauknya dan beberapa potongan kentang goreng. Di pinggiran piringnya, disajikan saus berwarna merah dan hijau. Bau dari bumbu-bumbunya terbawa oleh udara dan menggugah selera.
Omorfa pun memotong steak tersebut, kemudian memasukannya ke dalam mulut.
Hmmm!!! Enak!!, gumam Omorfa dalam hatinya.
Teksturnya yang lembut, dan rasa bumbu yang pas, sangat cocok di lidah Omorfa.
Melihat ekspresi puas yang dipancarkan Omorfa membuat Putra tersenyum.
Setelah makan-makanan berat, disajikan sebuah kue sebagai penutup. Rasanya benar-benar enak, bahkan kue itu merupakan kue terenak yang pernah dimakan Omorfa.
Setelah mereka selesai makan, Omorfa dan Putra berjalan menuju ruang tengah.
Di sana tersedia empat buah sofa, dan sebuah meja di tengahnya. Di bawahnya terdapat sebuah karpet agar tak terasa dingin.
Putra dan Omorfa pun duduk berlawanan di sofa tersebut.
"Jadi, apa yang mau kamu tanyain ??" tanya Putra sambil meneguk secangkir kopi.
"Oh iya, hampir lupa ..." gumam Omorfa sambil memukul jidatnya.
"Bisa kamu jelasin, kenapa aku bisa di sini ??" tanya Omorfa.
"Eeeh ..., kamu ga inget kejadian kemarin ...?"
"Kejadian kemarin? ... Apa?"
Mendengar balasan dari Omorfa, muncul perasaan sedih dalam hati Putra.
Padahal aku sudah berusaha keras kemarin, tapi dia malah lupa ..., pikir Putra.
"K-Kemarin ..." ucap Putra dengan patah-patah.
"Kemarin?"
"Kemarin aku kan nembak kamu!" sahut Putra cukup keras.
"Tunggu ..."
Omorfa termenung mengingat-ngingat.
Lalu ..., sebuah bayangan terlintas di kepalanya. Ia dipeluk dengar erat, jarak mereka berdua begitu dekat hingga ia dapat merasakan detak jantung Putra, kemudian Putra membisikkan sebuah kalimat padanya.
Seketika itu wajah Omorfa memerah, dan berdiri dari sofa.
"A-aku pulang dulu ..." ucap Omorfa dengan pelan.
"Heeeh .....?!" Putra terkejut dengan ucapan Omorfa.
Kemudian Omorfa berjalan keluar dari ruang tengah entah kemana.
"Haduh ..." Putra menghela nafas. "Dilsiz, anterin Omorfa ke rumahnya, dan kasih tau dia bahwa bajunya buat dia. Nanti kita bisa beli lagi."
Setidaknya, aura hitam yang aku berikan bisa bertahan untuk hari ini, gumam Putra dalam hatinya.
Dilsiz mengangguk dan bergegas mengejar Omorfa.
***
"Maaf ya, bikin kamu ngikutin aku .... Aku ga tau denah tempat ini. Terlebih lagi, sebenernya seberapa gede rumah punya Putra." ucap Omorfa pada Dilsiz.
Namun Dilsiz hanya tersenyum dan berjalan di sampingnya.
"Dari tadi kamu ga bicara. Apa kamu ... bisu?" tanya Omorfa ragu-ragu.
Dilsiz mengangguk menjawab pertanyaan Omorfa.
"Owh, gitu ya ..."
Omorfa pun diantar oleh Dilsiz dengan mobil ke rumahnya. Di sepanjang jalan ia merasa bersalah karena belum menjawab perasaan Putra. Ia pun membulatkan tekadnya untuk memberi jawaban pada Putra setelah merenung satu hari penuh.
***
Omorfa sampai di kediamannya. Kemudian bergegas ke kamarnya untuk berpikir. Terlalu banyak hal yang telah ia lalui sejak lusa. Ia perlu waktu sendiri untuk merenung.
Ketika Omorfa masuk ke kamarnya, ia tidak sengaja melewati sebuah cermin yang terpampang di dinding kamarnya. Kemudian ... ia mendapati bahwa auranya telah berubah warna—campuran hitam dan emas—.
"Eh, kok ...?" gumam Omorfa.
=========================


Posted by castrix, Published at 02.48 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar