#5 Maksud Tersembunyi

#5 Maksud Tersembunyi

Omorfa sampai di kediamannya. Kemudian bergegas ke kamarnya untuk berpikir. Terlalu banyak hal yang telah ia lalui sejak beberapa hari yang lalu. Ia perlu waktu sendiri untuk merenung.
Ketika Omorfa masuk ke kamarnya, ia tidak sengaja melewati sebuah cermin yang terpampang di dinding kamarnya. Kemudian ... ia mendapati bahwa auranya telah berubah warna—campuran hitam dan emas—.
"Eh, kok ...?" gumam Omorfa.
Omorfa agak sedikit terkejut ketika melihatnya, tapi ia tak begitu memedulikannya. Bagaimanapun ia tak mengerti arti dari warna-warna tersebut.
Tapi ..., aku masih manusia kan?, pikir Omorfa.
Ia memeriksa seluruh tubuhnya dan tak menemukan keanehan apapun.
Apa mungkin ... ini karena kejadian kema ...—
"Aargh ...!! Aku jadi inget lagi ...~" ucapnya sambil menenggelamkan wajahnya di bantal putih bergambar beruang itu.
Putra Fajar ya ..., gumam Omorfa dalam hatinya.
Omorfa mengingat-ngingat kejadian sehari yang lalu. Ia masih dapat merasakan kehangatan Putra dalam tubuhnya.
Entah mengapa, Omorfa merasakan ketulusan di dalam hati Putra pada saat ia dipeluknya. Dekapannya begitu lembut namun erat. Ia merasa aman ketika Putra memeluknya.
Kemudian ia mengingat-ngingat pada saat hari pertama ia bertemu dengan Putra. Memang, wujudnya saat itu terkesan mengerikan tapi terlihat kesedihan di hatinya ketika ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang iblis.
Apakah ia menyesal karena telah menjadi iblis? Ataukah ia memiliki penderitaan yang amat mendalam di hatinya? Omorfa tak mengetahui hal itu. Bagaimanapun seseorang takkan pernah dapat mengerti isi hati orang lain.
"Tapi kalau di pikir-pikir, Putra itu orang kaya kan?" gumam Omorfa.
Ia mempertanyakan sikap Putra pada saat mereka pertama kali bertemu. Padahal, ia memiliki begitu banyak uang, tapi ia tidak pernah bersikap sombong sedikitpun. Di hadapan teman-temanpun ia diterima dengan baik, kulihat ia akrab dengan semua orang.
Omorfa merasa bahwa ia cukup menyukai sisi baik yang dimiliki oleh Putra.
*Tingnung*
Suara bel berbunyi.
Omorfa tak memiliki pilihan lain selain bangkit dari kasurnya dan menghampiri pintu rumahnya. Ia pun membuka pintu nya dan mendapati Trelis di depan rumahnya sambil membawa kotak kue dengan memakai sarung tangan.
Tak heran Lucifer menyukainya, pikir Trelis sambil menatap Omorfa yang sedang mengenakan gaun.
"Permisi Omorfa ..." ucap Trelis.
"I-iya, kalo ga salah kamu Trelis kan?"
Omorfa tak menduga bahwa orang yang berada di balik pintu tersebut adalah Trelis, si murid baru.
"Tepat ..." balas Trelis sambil mengangkat jempol. "Bisa minta tolong gak?" tanya Trelis.
"Minta tolong apa?"
"Ini ... bisa gak kirimin kue ini ke Putra?"
Omorfa sedikit ragu karena tiba-tiba dimintai tolong.
"Hmm .... Tapi kenapa ga kamu aja yang ke rumah Putra?"
"Haha ... aku ga tau di mana rumahnya ..."
Trus dari mana dia tau alamat rumahku?, pikir Omorfa.
"Kayaknya ga bisa deh ..., aku juga baru pulang ..."
"Oh, gitu ya ... maaf ya udah ganggu ..."
"Iya-iya, tapi tunggu. Aku tulis dulu alamat Putra ..."
"Oh makasih ..."
Omorfa pun bergegas ke kamarnya menulis alamat rumah Putra di selembar kertas yang telah ia sobek.
"Ini ..." ucap Omorfa sambil memberikan kertas tersebut.
"Sekali lagi makasih ya ...." balas Trelis sambil tersenyum.
"Iya, sama-sama ..."
Omorfa pun menutup pintu rumahnya. Ia merasa firasat buruk tak aman akan kehadiran Trelis. Aura miliknya memang berwarna putih. Tapi ... ada suatu hal yang tak dapat ia jelaskan berada di dalam diri Trelis.
Setidaknya aku telah menemukan rumahmu ..., gumam Trelis dalam hatinya sambil menyeringai tajam.
Di sisi lain pikiran Omorfa masih terbebani oleh pernyataan cinta dari Putra.
Jadi ..., besok aku harus gimana??, pikir Omorfa merenungkan kembali jawaban yang akan ia berikan esok hari ....
***
"Sebuah kasus pembunuhan terjadi kembali. Pada hari sabtu pukul sembilan malam, ditemukan mayat seorang wanita berumur tujuh belas tahun. Kedua tangannya di mutilasi—"
Hoo ..., ada kasus pembunuhan lagi ya, dan sepertinya masih berada di kota ini. Aku takkan melewatkan kesempatan ini ....
"Moris, jalan-jalan yuk. Kayaknya bakal ada yang seru di kota." ajakku pada Moris, salah satu pelayanku. Ia adalah kepala pelayan di rumah ini. Dari semua pelayan yang aku miliki, dia lah yang paling cantik dari semuanya.
"Kalau begitu, aku akan siapkan terlebih dahulu peralatan gusti ..."
"ya ..."
Aku menunggu Moris menyiapkan peralatanku sambil menonton kelanjutan berita tersebut.
"Tak diketahui siapa dan apa motif dari pembunuhan ini. Namun dari sekian banyak korban yang ditemukan, polisi menyimpulkan bahwa para korban adalah perawan."
"Praktek pesugihan yah ....
Kalau begitu ... aku akan mendatanginya langsung."
Setelah beberapa menit berlalu, Moris pun kembali padaku.
"Sip, ayo berangkat ..."
Kami mengenakan pakaian serba hitam lalu naik ke mobil.
Aku pergi bersama Moris menuju ke sebuah pedesaan di kota Garut. Pemandangannya begitu indah, hijau sejauh mata memandang. Pesawahan bertingkat-tingkat dengan rapihnya, para petani yang menggarap lahannya, dan para kerbau yang mengolah tanahnya membuat suasana di tempat ini begitu damai. Aku juga melihat beberapa anak sedang bermain layangan di sana, mereka terlihat begitu asik memandangi layangan walaupun terik matahari berada di puncaknya.
Aku pun sampai di depan rumah seseorang. Rumah yang begitu kecil dan sepertinya hanya memiliki satu buah kamar.
Moris pun mengetuk pintunya, lalu keluar seorang pria dari dalamnya.
"Siapa ya ...?" tanya pria itu.
"Kami dari kepolisian ..." ucap Moris dengan tenangnya.
Tentu, dia bohong. Aneh rasanya bila seorang polisi ditemani oleh seorang anak SMA sepertiku. Tapi sepertinya dia bodoh, dia percaya begitu saja.
"O-oh, ada perlu apa ya ...?" tanyanya dengan suara patah-patah. Aku bisa melihat keringat dingin keluar dari keningnya.
Hahaha, aku sangat menyukai ekspresi yang ia tampilkan saat itu.
"Kami perlu memeriksa kediaman anda" balas Moris.
Setelah beberapa detik pria itu berpikir, ia pun mempersilahkan kami untuk masuk.
"O-oh, silahkan masuk ..."
Pria itu pun berbalik, kemudian Moris menggunakan sihirnya untuk melumpuhkan pria tersebut.
Seketika itu ia tergeletak di lantai rumahnya. Kami pun masuk untuk memulai operasi kami.
Baiklah ..., ini saatnya untuk menghukum dia. Aku tak sabar menantikannya.
Moris mengikat tubuh pria tersebut pada dinding rumahnya dengan paku dan tali tambang. Setelah pria itu benar-benar tak dapat bergerak lagi, aku pun mendekat ke arah pria tersebut lalu kubangunkan dia dengan kekuatan sihirku.
"Met siang om ..." ucapku sambil tersenyum menyeringai.
"Ha—" pria tersebut terlihat kebingungan. "A-apa yang akan kau lakukan ...??" tanyanya padaku.
"Aku hanya akan menghukummu ... hahaha." balasku. "Moris, bawa cerminnya ..."
Moris pun kembali ke mobil lalu membawa sebuah cermin ke hadapanku. Ukuran cermin ini cukup besar memungkinkan seseorang untuk melihat seluruh tubuhnya.
"Baiklah kita mulai ... hehe."
Aku memberi sinyal pada Moris, ia pun memberikan sebuah pisau padaku.
"ini akan lumayan sakit ..."
"He-hentikan ...!"
Perlahan demi perlahan aku mendekatkan pisau ini ke depan dada pria tersebut.
*SRRRRT*
Aku menyayat kulit dada pria tersebut dengan perlahan.
"Ha ... —
Hentikan ... aku mohon ...." terlihat matanya berkaca-kaca.
"ini baru permulaan ..."
***
—Senin, 8 Juli 2029
Ahh, akhirnya aku selesai.
Aku melihat seorang mayat pria di depanku. Ia kehilangan seluruh kulit bagian depannya karena aku telah mengirisnya secara perlahan. Teknik penyiksaan ini disebut dengan 'Ling Chi' yang berasal dari China. Aku memvariasikannya dengan teknik penyiksaan di jerman yang menggunakan cermin untuk memberikan dampak psikologis yang lebih.
Tapi, meskipun aku mengatakan 'seluruh', aku melewatkan bagian kemaluannya. Karena ... kau tahu, hal tersebut merupakan pelecehan seksual. Jadi aku menghindarinya. Aku tetap menjaga agar celananya tetap ia gunakan.
Aku masih dapat melihat darah segar menetes ke lantai. Sekarang ia telah mati.
Kau mungkin bertanya-tanya, untuk apa aku melakukan semua ini ....
Tentu ... untuk minuman spesialku. Ketika jiwa tersebut merasakan penderitaan yang luar biasa sebelum mati, maka rasa dari jiwa tersebut semakin nikmat.
Memang, ini terdengar jahat. Tapi bagiku, hal yang baru saja kulakukan sekarang tak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para manusia saat memakan hewan sembelihan. Aku bahkan pernah melihat sebuah video dokumenter dimana binatang-binatang ternak yang berada di sana mengalami berbagai macam siksaan. Semua itu manusia lakukan agar 'rasa' dari binatang-binatang tersebut menjadi lebih nikmat.
Lalu, apa yang kulakukan barusan itu salah? Tentu tidak, setidaknya bagiku. Aku memiliki sesuatu yang aku anggap benar sendiri dan sesuatu yang aku anggap salah juga. Begitupun dengan semua orang, masing-masing dari kita memiliki prisip hidup sendiri.
Jika kau mengatakan bahwa aku telah melanggar hak asasi manusia, begitu pula dengan kalian. Kalian telah melanggar hak asasi hewan. Terlebih lagi, aku bukanlah seorang manusia lagi. Hukum yang berlaku bagiku hanyalah hak asasi iblis. Sayangnya hal tersebut tidak ada.
Tapi aku bukanlah seorang iblis yang jahat. Aku menolong orang yang kesusahan dan menghukum orang yang berbuat kejahatan. Sebenarnya, aku ingin memperlihatkan saksi penyiksaan ini di hadapan publik agar mereka sadar bahwa kejahatan itu salah. Tapi aku tidak bisa.
Terlebih lagi, jika aku membiarkannya hidup. Ia akan membunuh lima perawan lainnya, karena ia membutuhkan total tujuh orang tumbal. Angka tersebut sangat kecil bagi ku, tapi tidak bagi para manusia.
Sebenarnya, suatu hari nanti aku memiliki sebuah tujuan besar. Aku ingin menjadi pahlawan bagi seluruh umat manusia yang ada di bumi ini. Bagaimana caranya? Mudah saja, yaitu dengan cara menghancurkannya. Dengan begitu, orang jahat akan pergi ke neraka dan orang baik akan pergi ke surga. Bukankah hal tersebut adalah akhir yang indah?
'Pembunuh membunuh seratus orang. Pahlawan membunuh seribu orang.' itulah pengertian dari pahlawan yang sebenarnya. Dahulu aku telah salah, kukira pahlawan adalah orang yang mengorbankan nyawanya di medan perang, tapi ternyata tidak.
Seperti yang dilakukan oleh Sukarno yang telah melakukan gnosida di masa pemerintahannya, ia adalah seorang pahlawan jenius. Begitu pula dengan Hitler yang telah membantai ribuan orang Yahudi, ia juga seorang pahlawan. Mungkin.
Sebenarnya aku tak terlalu mengerti dengan apa yang Hitler lakukan. Tapi karena ia telah membunuh ribuan orang, maka ia adalah seorang pahlawan! Begitulah hukum dunia bekerja.
Dari semua pahlawan tersebut, aku ingin menjadi yang paling unggul di antara mereka semua. Tapi ... aku pun masih ragu apakah hal tersebut adalah hal yang benar. Itulah mengapa aku belum melakukannya.
Terlepas dari semua itu, seorang pembunuh seperti pria yang berada di hadapanku adalah seorang penjahat. Ia mementingkan dirinya karena ingin kaya tanpa memperhatikan orang lain. Benar-benar bodoh.
Baiklah ... sekarang tinggal bagian bawahanku untuk membereskannya.
Jam menunjukan pukul dua pagi, aku harus segera siap-siap pergi ke sekolah.
Oh, tidak. Aku bahkan belum mengunjungi istana ku. Sepertinya aku akan tidur seharian di kelas nanti.
***
Jam menunjukkan pukul enam pagi. Waktu yang tepat untuk pergi ke sekolah.
Aku menaiki angkutan umum dari rumahku. Mengapa aku perlu repot-repot naik angkot? Yah, kau tahu. Aku menyukai sensasi ketika berada di dalamnya. Setiap orang berhimpitan satu sama lain dengan tujuan yang berbeda-beda, namun mereka dapat bersatu di tempat yang sama. Luar biasa bukan?
Terkadang ada beberapa pedagang sayur yang membawa muatan barang ke dalam sini. Sayur-sayur tersebut sangatlah segar menggugah selera makanku. Di sini, aku bahkan sering mengobrol dengan pak supir. Aku benar-benar heran, meskipun dunianya hanyalah di atas jok, tapi ia memiliki wawasan yang luas. Yah, walaupun wawasanku lebih luas daripadanya.
Tapi, kalian pasti bingung. Di tahun 2029 ini masih ada angkot? Ga salah tuh?
Ya, tentu tidak. Pada tahun 2020, angkot telah dijadikan salah satu budaya Indonesia. Aturannya pun diperketat agar para sopir tak melanggar aturan lalu lintas lagi. Begitu pula dengan para penumpang yang mulai sadar bahwa angkot hanya dapat berhenti di halte-halte terdekat.
Setelah lima belas menit aku menaiki angkot ini. Aku berhenti di halte dekat sekolah lalu berjalan beberapa langkah menuju sekolah.
Kau tahu, sebenarnya sekolah ini milikku. Aku mencocokkan desain bangunannya dengan selera ku. Terdiri atas tiga bagian yaitu kelas, taman, dan tempat olah raga. Di desain dengan tampilan minimalis yang dihiasi oleh warna putih dan biru. Kalau tidak salah, jumlah total dari ruangan di sekolah ini adalah dua ratus ruangan. Termasuk ruangan klub dan tempat olah raga.
Sekolah ini adalah tempat kedua ku untuk menenangkan diri. Oh iya, taman yang biasa aku kunjungi juga merupakan daerah yang aku rancang sendiri. Sebuah tempat yang cocok untuk bermalas-malasan dan menenangkan diri. Terkadang aku membaca buku di sana atau memainkan VPhone—gadget masa depan— ku.
Aku pun sampai di depan kelas.
Baiklah! Aku akan memulai hariku yang baru di sini!
Tapi ... aku mencium bau darah. Meski hanya sekilas ....
Ah, mungkin hanya perasaanku saja.
"Pagi!" sahutku ke seluruh ruangan kelas.
"Oih Putra! Tumben lu ga ke siangan!" ucap Chopat.
"Eh! Kapan gua kesingan. Gua kan murid teladan, mana mungkin ke siangan ..."
Yah, sebenarnya bisa di hitung jari ...
"Ngeles lu. Ngomong-ngomong, kemarin sore kenapa ga ke lapang?"
Dia membicarakan tentang basket.
Gua lagi sibuk nyiksa orang!, itu yang ingin aku katakan. Tapi aku tak bisa.
"Ah, itu. Gua ada ... semacam urusan."
"Ooh ...
Ngomong-ngomong, si Expni mau bicara tuh." ucap Chopat sambil menunjuk ke arah belakang.
"Iya ..."
Aku pun menaruh tas ku lalu berjalan mendekat ke arah Expni.
"Jadi ...?" ucapku memulai pembicaraan.
"Y-yah ... gua mau ... minta maaf ..." ucapnya sambil menundukkan pandangannya.
Itu cukup, hanya kalimat itu yang aku inginkan dari mulutnya. Andaikan kemarin ia langsung meminta maaf padaku. Aku pasti akan memaafkannya.
"Ok, gua maafin. Harusnya dari kemarin gini ...."
Aku mengulurkan tanganku.
"Ayo, jabat tangan." ucapku.
Expni pun memelas dadanya.
"Untunglah ... gua kira, gua bakal dipukul." balasnya sambil menatapku dan tersenyum.
Expni pun meraih tanganku, lalu kami berjabat tangan.
"Emang bakal. Kalo lu ga ngaku."
Seketika itu ekspresinya berubah jadi cemberut.
"Tapi sekarang ga apa-apa kok, udah gua maafin."
"Iya ..."
Lalu, tanpa kusadari Omorfa menepuk punggungku.
"L-Putra ..."
"Eh, Omorfa. Ada apa Omorfa tercinta?" jawab Expni.
Aku menghiraukan Expni dan mengalihkan pandanganku pada Omorfa.
"Ada apa Omorfa?" tanyaku pada Omorfa.
Omorfa terlihat sedikit malu-malu kucing. Ternyata, dia memiliki sisi imut seperti ini juga.
"Na-nanti ... istirahat ada waktu gak? Di taman ..."
OMG, imut banget!
"S-Sip!" balasku dengan tegas.
"O-Oke ........" ucap Omorfa dengan nada lembut. Ia pun pergi ke bangkunya dengan tergesa-gesa.
"Oi Putra ... jangan-jangan lu ..."
"SSSSSSTT!!!" siutku pada Expni.
"Cieeeeeeee!" sahut Expni dengan keras.
"Oi oi! Ada apa Expni?" ucap teman sekelasku yang lain.
Ah ... terlambat.
"Ini nih, si Putra ..." ucapnya sambil menunjuk ke arahku dan menggerakkan alisnya ke atas.
"CIEEEE!" ucap beberapa teman sekelasku.
Aku senang karena sikap kalian yang ingin ikut merayakan. Tapi ... rasanya sedikit mengganggu ku.
Dan sekarang mereka akan minta di traktir.
"Nanti traktir ramen ya!"
"Gua sushi!"
"Gua nasi goreng aja ..."
"Gua juga minta ramen sapi!"
"Ah, iya iya. Gimana nanti. Kalo gua ditolak, lu semua yang traktir gua!"
Sekaya apapun aku. Ditraktir teman itu rasanya beda.
"Oke!" jawab semuanya serentak.
Bel masuk pun berbunyi. Waktunya tidur!
***
—Dunia iblis, istana Satan.
"Bagaimana dengan wanita itu ...?" tanya satan pada bawahannya.
"Seperti yang anda pikirkan, ia sangat dekat dengan gusti Lucifer." balas bawahannya sambil menunduk.
Sepertinya aku dapat menggunakannya ..., pikir Satan.
=========================


Posted by castrix, Published at 02.48 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar