#6 Awal Dari Sebuah Akhir

#6 Awal Dari Sebuah Akhir


Bel istirahat berdering membuatku tebangun dari tidur. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan melihat Omorfa sedang berjalan ke luar kelas.
Aku pun bangkit dari bangkuku lalu berjalan menuju toilet terlebih dahulu untuk membersihkan wajahku. Setelah itu aku langsung bergegas menuju taman.
Di sana aku melihat Omorfa sedang duduk di bawah pohon beringin. Rambut panjangnya menari-nari dihembuskan oleh angin yang cukup kencang. Ketika ia melihatku, ia langsung berdiri dan menatap ke arahku.
Jantungku berdebar-debar, aku tidak tahu apa jawaban yang akan ia berikan. Haya ada dua kemungkinan yang akan terjadi padaku. Pertama adalah ditolak, dan kedua adalah ia menerima cintaku. Aku tidak yakin bila Omorfa adalah tipe orang yang akan menempatkanku di friendzonebrotherzone, atau zone-zone lainnya.
Dari sini aku sedang memikirkan kata-kataku untuk memulai pembicaraan. Aku telah memikirkan berbagai simulasi untuk menghadapinya.
Aku pun sampai di hadapan Omorfa.
Suasana saat itu sangatlah canggung, aku tak tahu harus memulai percakapan seperti apa. Ternyata semua ini tak semudah yang kubayangkan dalam simulasi.
"Eh ... emm ...."
Aku hanya bisa diam menunggunya untuk memulai pembicaraan.
Setelah beberapa detik aku menunggu, kemudian Omorfa menatapku dengan penuh kepastian.
"Aku juga menyukaimu Putra ..." ucapnya.
"....."
Aku terdiam. Semua itu begitu tiba-tiba, ia bahkan tak memberiku waktu untuk besiap-siap. Kulihat senyumnya yang menawan beserta tatapannya yang lurus ke arahku.
Kata-katanya mengalir dan merasuk ke dalam hatiku. Perasaan ini sangat sulit ku jelaskan, hangat, nyaman, bagaikan marshmellow yang baru matang disematkan di dadaku.
Apa ini yang disebut dengan cinta? Yah, mungkin saja. Aku memang sudah mencintainya sejak lama, setiap mataku memandangnya, jantungku selalu berdebar-debar.
Kutatap kedua tanganku, tak ada tanda-tanda bahwa aku sedang bermimpi.
"B-benarkah ...?" tanyaku memastikan.
Omorfa mengangguk.
"Tentu Putra, tidak mungkin aku bercanda ..." ucapnya sambil terseyum.
"Tolong tampar aku ...."
"Eeeh...?"
"Tolong ...." ucapku ingin meyakinkan diri.
"Baiklah kalau begitu,"
Omorfa pun mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mempersiapkan tamparan yang cukup keras. Tak sanggup menyaksikan itu, aku menutup kedua kelopak mataku.
Dia benar-benar serius!!!, pikirku panik. Aku memang seorang raja iblis, namun bila aku ditampar oleh orang yang aku cintai maka itu akan cukup menyakitkan bagiku.
Beberapa saat berlalu, kemudian aku merasakan sesuatu yang hangat di bibirku. Seketika itupun aku membuka mata, dan di sana kulihat wajah Omorfa sangat dekat denganku.
Alisnya yang panjang benar-benar indah. Hidung kami saling berdekatan sampai-sampai membuatku bisa merasakan nafasnya. Bibir kami bersendewa, berbagi kehangatan.
Kemudian Omorfa menjauh, pipinya merona, kelopak matanya sayup-sayup. Lalu ia menatap mataku, kemudian tersenyum dengan indahnya.
Senyumannya saat itu benar-benar menyilaukan. Tidak salah lagi, ini bukan mimpi. Omorfa benar-benar berada di hadapanku, dan aku hadir di masa kini.
"Omorfa ..."
Aku pasti akan melindungi senyuman itu. Walaupun dunia memisahkan kami, walaupun dewa tak mengizinkan, aku pasti akan melawan mereka semua demi Omorfa.
Kemudian Omorfa mengeluarkan dua kotak bekal.
"Sebenarnya ... aku membuat bekal lebih untuk kita ..." ucapnya sambil tersenyum.
Hati ku dipenuhi oleh perasaan bahagia. Bagaimana tidak? Ia telah mempersiapkan semua ini, ia benar-benar peduli padaku.
Kami berdua pun memakan bekal tersebut dengan penuh rasa senang.
Tak kusangka dalam hidupku ini, aku bisa merasakan kebahagiaan. Sesuatu hal yang dahulu adalah mustahil, sekarang menjadi kenyataan. Kurasa aku harus mengucapkan terimakasihku sekali lagi pada ayah Satan, yang telah membebaskanku dari jeratan takdir dewa.
***
"Seperti yang kubayangkan, kamu lebih cocok kaya gini." ucap Omorfa sambil sedang memegang tanganku.
Setelah kami memakan bekal di taman, kami bergegas menuju kelas sambil bergandengan tangan.
"Gitu ya ..., kalo gitu aku bakal ngurangin aura gelapku mulai dari sekarang."
Kemudian saat kami berada di depan kelas ...
*PLOK*
Kami dihujani oleh kertas warna-warni dan suara gaduh yang diciptakan oleh teman-teman sekelasku. Ada yang memukul-mukul bangku ada yang berteriak tak karuan ada juga yang duduk membaca buku.
Yah, sepertinya mereka sudah tahu.
"Cieee ...." sahut semuanya.
Tentu, aku dan Omorfa tersipu malu atas tingkah laku mereka.
"Putra, lu udah janji ya ..." sahut salah seorang teman sekelasku.
"Iya, iya. Nanti gua traktir se kelas."
"YEEEE!!!!" sahut semuanya.
Kemudian aku menatap ke arah Omorfa. Aku melihat ekspresi khawatir dari wajahnya yang sedang menatap layar VPhonenya.
"Omorfa ...?" tanyaku padanya.
Ia pun menatap wajahku seakan memohon pertolongan.
"Putra ... Mila ...!"
Ekspresi khawatir semakin tergambar di wajahnya, ia pun memperlihatkan layar VPhonenya padaku.
Di sana aku melihat sebuah ruangan kumuh yang berisi sampah-sampah. Aku juga mendengar suara seorang perempuan yang minta tolong. Dari video tersebut, dapat disimpulkan bahwa video tersebut adalah penglihatan perempuan yang sedang berada di sana.
VPhone memang di desain untuk dapat mentransmisikan indra-inda kita secara langsung tanpa memerlukan perangkat tambahan. Sebuah gadget canggih yang sudah berlaku seperti sihir.
["Tolong ... mereka menculikku ..."] ucap seseorang di layar.
Seperinya suara tersebut adalah suara hatinya.
["Cepat telepon orang tuamu! Dan jangan sampai polisi ikut campur, atau aku akan membunuhmu!"] terdengar suara seorang laki-laki dari sana.
Seketika itu suasana kelas menjadi diam.
"Apa dia temen kamu?" tanyaku pada Omorfa.
Kemudian ia mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Aku pun mengambil langkah pertama ku dengan menghubungi pihak sekolah untuk meliburkan hari ini. Karena mungkin orang tua mereka akan khawatir.
Teman-teman sekelasku pun menggunakkan tas mereka masing-masing dan mendengarkan arahan dari pak guru. Sementara itu, aku bersama Omorfa bergegas keluar sekolah terlebih dahulu. Aku telah menelpon Moris untuk membawa mobil.
Kami pun sampai di depan gerbang sekolah. Kami menunggu moris untuk menjemput kami.
Kemudian, tiba-tiba datang sebuah truk besar ke arah kami dengan kecepatan tinggi. Truk tersebut menyalakan bunyi klakson berkali-kali tanda peringatan.
"Rem blong! Rem blong!!!!" teriak supir truk dengan putus asa.
Truk itu tak juga berhenti, Omorfa melihat seorang anak perempuan yang sedang berdiri sendiri di bahu jalan tanpa didampingi seorang pun! Seketika itu Omorfa melompat lalu menarik anak tersebut ke belakang menggantikan posisi anak itu.
Nyawan Omorfa terancam!, hatiku terguncang. Dalam sekerjap aku mengambil ancang-ancang lalu melesat dengan kecepatan penuh. Dalam waktu kurang dari satu detik aku menangkap alinea di tanganku. Namun karena aku terburu-buru, kami terpental didorong oleh momentum menghantam dinding bangunan.
Omorfa terdiam, sepertinya ia terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Dalam hitungan detik, mungkin nyawanya sudah menghliang, mungkin truk itu sudah melindas tubuhnya, memisahkan kepala dan badannya. Omorfa menarik nafas dalam seketika, seperti seorang yang baru diselamatkan dari kedalaman laut.
Sesaat Omorfa tak dapat berpikir apapun, lalu kemudian ia tersadar, ia menyadari bahwa Putra telah menyelamatkan dirinya.
"Putra ...! Kamu ga apa-apa kan ...?!" ucap Omorfa dengan penuh rasa khawatir, ia pun bangkit dari tubuhku kemudian mendekat ke arahku.
"Gak, gak apa-apa kok." balasku.
Truk itu menabrak mobil yang berada di hadapannya terguling menghalangi jalan.
Gawat, jika begini terus, Moris takkan bisa sampai ke sini. Aku melihat kemacetan di sepanjang jalan.
Tak ada pilihan lain, sepertinya aku harus memanggil helikopter.
"Moris, jalannya macet. Segera kirimkan helikopter!
Dan juga, cari orang yang bernama Mila. Sepertinya ia diculik ke suatu tempat, aku akan mengirimkan detailnya."
"He-helikopter!!" Omorfa terkejut.
["Dimengerti ..."]
Kami pun menunggu helikopter untuk menjemput kami.
Satu-satunya alasanku untuk tidak memanggil helikopter sejak awal adalah karena kami akan kesulitan untuk mendarat. Untunglah, di tempat ini ada sebuah lapangan besar yang dapat kugunakan untuk pendaratan.
Kemudian sebuah helikopter datang menjemputku. Kami pun naik ke dalamnya.
Tak ada waktu bagi kami untuk menikmati sensasi menaiki helikopter, di sepanjang jalan kami membicarakan tentang Mila itu ....
Mila adalah teman baik Omorfa ketika berada di kelas satu. Mereka memiliki ketertarikan yang sama pada bidang fisika. Itulah mengapa mereka bisa menjadi teman baik. Dan masalah yang sebenarnya adalah kedua orang tua Mila sedang bekerja di luar negri. Itulah mengapa tak ada siapapun yang dapat membayar tebusannya.
Dari sini aku dapat melihat bagunan kosong tersebut. Sepertinya, daerah sini memang sudah ditinggalkan karena kebakaran sebulan yang lalu. Tempat yang cocok untuk menyembunyikan seseorang.
Sayangnya, para polisi telah berkerumun di tempat tersebut. Aku tidak yakin apabila penculinya masih ada di dalam sana.
Kami pun mendarat di sebuah lapangan yang cukup besar, namun agak jauh dari lokasi penculikan. Setelah turun dari helikopter, kami bergegas menuju bangunan tersebut dengan berlari. Seperti yang kuharapkan dari Omorfa, fisiknya benar-benar hebat. Ia bahkan tak berhenti sedikitpun.
Kami pun hampir sampai di bagian belakang bangunan tersebut, sedangkan polisi berada di sisi yang berlawanan. Dari sini aku melihat tiga orang pria berpakaian hitam sedang menodong seorang gadis keluar dari bangunan tersebut.
"Oi!" teriakku pada mereka.
Mereka pun menyadari keberadaanku, lalu pergi ke bangunan kosong lainnya. Jarak dari kedua bangunan tersebut tidaklah terlalu jauh, melainkan hanya dipisahkan oleh jalanan beraspal.
Kami mengejar mereka dengan kecepatan penuh, lalu masuk ke ruangan tersebut. Kemudian kami berada di dalamnnya dan mengejar tiga orang tersebut. Aku mengeluarkan pistol dari sakuku lalu memberikan tembakan peringatan. Al-hasil, mereka meninggalkan tawanan mereka lalu berlari ketakutan.
Aku terus mengejar mereka, sedangkan Omorfa mencoba melepaskan ikatan di tangan temannya itu.
Para penculik berpisah ketika mencapai pintu keluar dan aku pun kehilangan jejak mereka.
"Moris, kejar mereka lalu bunuh mereka!" perintahku pada Moris.
Kemudian aku kembali untuk memeriksa Omorfa. Tapi ...
"Omorfa!!!" teriakku dengan keras.
Aku melihat Omorfa berada di bawah lantai, sedangkan temannya berada di atasnya sambil menodongkan pisau ke arah Omorfa.
A-Apa yang terjadi??!
Kemudian ... aku melihat darah keluar dari bahu Omorfa ....
Lukanya membuat amarahku memuncak. Tidak bisa di maafkan!
Aku pun memperkuat aura gelapku lalu melesat secepat suara. Kemudian aku menendang teman Omorfa hingga terpental jauh ke arah depanku.
"A-Omorfa ...!"
Aku memegang tubuh Omorfa dengan penuh rasa khawatir. Suhu tubuhnya begitu tinggi, keringat dingin keluar dari keningnya.
R-racun!!
Ya, aku yakin. Ia diracun. Aku kehilangan beberapa detik berharga ku ketika sedang mengejar para penculik tersebut.
Ini adalah jebakan. Orang yang sebenarnya mereka incar adalah Omorfa. Tapi, siapa? Siapa yang mengincarnya? Aku tidak mengerti .... Aku pasti akan membunuhnya dengan tanganku sendiri ketika bertemu dengannya.
Lalu ... apa yang harus aku lakukan sekarang???
Aku harus berpikir ... aku yakin pasti ada suatu cara untuk menyelamatkan Omorfa.
Pertama, aku harus menjaga agar pikiranku tetap tenang. Aku pun menarik nafas dalam-dalam lalu mengeluarkannya dengan pelan.
Baiklah ... sekarang pikirkan semua kemungkinan.
Bila aku membawanya ke rumah sakit saat ini, mungkin Omorfa takkan tertolong lagi. Bagaimanapun, kondisinya saat ini sangatlah bergantung pada waktu. Aku tak punya waktu untuk mengantarnya.
Lalu ...? Apa yang harus aku lakukan ...?
Berpikirlah! Berpikirlah!!
...
...
...
...
Ayolah diriku!!!
...
...
...
Oh iya!! Aku ingat!!!
Setiap bagian tubuhku ini memiliki mukzizat. Darahku dapat mengubah besi menjadi emas, rambutku dapat menjadi pondasi bangunan yang kuat, dan air liurku ... dapat menyembuhkan apapun.
Aku hanya perlu membuat Omorfa meminum air liurku, dengan begitu aku yakin bahwa kondisinya akan membaik.
"Omorfa ... minumlah ..."
Kemudian aku mendekatkan mulutku pada mulut Omorfa. Bibir kami saling bersendewa, aku dapat merasakan bibirnya yang basah. Hidung kami pun sama dekatnya, aku dapat merasakan nafasnya dengan begitu jelas.
Kemudian, mengumpulkan air liurku lalu menjulurkan lidahku agar Omorfa dapat meneguknya.
*Gulp*
Satu tegukan.
Aku mohon, bangunlah Omorfa!
*Gulp*
Dua tegukan.
Aku mohon! Aku mohon!
"Emph ... —" Omorfa menggeliat.
Tubuh Omorfa pun bereaksi setelah tegukan ke tiga. Lidah kami bertemu ...
*Gulp*
"Emphhh ...!—" Omorfa menggeliat untuk yang ke dua kalinya.
"*much*...*much*..."
Lidahku berputar bersama lidahnya ...
"Ha ... ha ... ha ..."
Aku menghirup nafas sejenak ....
Kemudian aku menyatukan bibir kami lagi ...
"*much*...*much*...*much*..."
Lidah kami saling berputar seirama ....
*Gulp*
"Emmph ...!" Omorfa menggeliat sekali lagi, kali ini tangannya memeras seragamku dengan keras ....
"*much*...*much*...*much*..."
Kemudian Omorfa pun membuka matanya dan seketika itu mendorong wajahku.
"Ha ... ha ... ha ...."
Ia sadar ....
Ia telah sadar ....
Aku merasa bahwa aku ingin menagis ....
Perasaan macam apa ini ....
Kemudian air mata mengalir ke pipiku ....
Seketika itu aku memeluk tubuh Omorfa yang sedang terbaring di lantai.
"Omorfa!!!"
Aku tak kuasa menahan air mataku. Air mataku keluar seiring dengan suara tangisan yang aku buat.
Aku meneggelamkan wajahku dalam seragamnya yang berwarna putih, aku tak ingin ia melihat wajah yang kubuat saat ini ....
Aku benar-benar payah ... aku bahkan tak dapat melindunginya barusan.
Tapi bagiku keselamatannya saat ini sudah cukup. Lebih cukup dari segalanya.
Aku masih menangis ... air mataku membasahi seragam Omorfa.
Kemudian Omorfa pun mengusap kepalaku.
"Aku ..., membuatmu menangis lagi ya ...." ucap Omorfa.
Perasaan sedih di dalam hatiku semakin tak dapat kubendung ...
Aku tak tahu apa yang akan terjadi bila ia mati di hadapanku.
Aku tak tahu ...
Tak sedikitpun ...
Syukurlah ..., ucapku dalam hati. Aku tak ingin kehilangan dia ... aku pasti akan melindunginya dengan kedua tanganku ini ...
Aku tak akan membiarkannya terluka seperti ini lagi ....
Tapi aku tak dapat berlama-lama di sini, atau Omorfa akan terkena demam. Aku pun menggendongnya di tanganku kemudian membawanya menuju helikopter. Aku melihat tubuhnya begitu lemas, sepertinya ia masih berada di bawah pengaruh racun tersebut. Yah, tapi ia akan segera membaik.
Kemudian kami menaiki helikopter lalu terbang menuju rumahku. Dalam perjalanan, Omorfa tertidur di bahuku. Ini kedua kalinya aku melihat wajah Omorfa yang sedang tidur. Tapi aku mengerti, hari ini benar-benar hari yang melelahkan bagi Omorfa, jadi kubiarkan ia beristirahat dengan tenang.
Sekali-kali aku memeriksa keadaannya, ia terlihat begitu menikmati tidurnya.
Terbayang di benakku, bagaimana bila Omorfa yang berada di sampingku ini tidak akan pernah bangun lagi?? Pasti hal tersebut akan menjadi pukulan yang luar biasa bagi diriku.
Ah ... apa yang sedang kupikirkan barusan. Omorfa ada di sini, tepat berada di sampingku, dan ia masih hidup. Kenyataan seperti itu sudah cukup bagiku.
Kemudian kami sampai di rumahku, aku pun membaringkan Omorfa di kasurnya yang telah ku atur ulang posisinya menjadi di samping kasurku. Sekarang ia akan berada di sampingku, ia akan terus bersamaku.
Aku pun duduk di kursi yang berada di samping kasur Omorfa. Dalam situasi seperti ini, mana mungkin aku bisa tidur nyenyak.
Aku menggenggam tangannya yang kecil, dari sana aku dapat merasakan kehangatan yang tak tergantikan.
Ia berada di sini ... ia takkan pergi meninggalkanku.
Dengan begitu ... aku pun tertidur ....
***
Aku kembali ke dunia ini lagi ...
Ini adalah istanaku yang mewah ...
Banyak hal yang terjadi hari ini ... semua ini membuatku sedikit kelelahan.
Tapi ada hal penting yang harus aku lakukan .... Aku harus mencari seseorang yang telah mengincar nyawa Omorfa.
"Satanackia ... kumpulkan semuanya di depan istana."
"Baik ..."
Seketika itu pun semua berkumpul.
Dari atas sini, aku melihat semua pengikutku menunduk ketika menyadari kehadiranku.
"Angkat kepala kalian ..." perintahku pada mereka.
Kemudian mereka mengangkat kepala mereka.
"Hari ini ... ada sebuah peristiwa yang tak dapat kulupakan ..."
Semua mendengarkan ucapanku dengan seksama.
"Seseorang telah berani-beraninya melecehkanku!"
Muncul ekspresi tak senang dari wajah mereka ....
"Maka dari itu ... aku perintahkan kalian untu mencari orang tersebut!
Bawa ia ke hadapanku! Dan buat ia menyesal atas perbuatannya!"
"HOOO!!!" semua yang berada di bawahku bersorak setelah aku memberikan perintahku.
Aku pun berbalik menuju singgasanaku ....
Aku tak tahu siapa dirimu. Aku tak tahu dimana kau berada. Tapi aku akan mencarimu, lalu membayar perbuatanmu!
Ingat itu!
=========================


Posted by castrix, Published at 02.48 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar