#8 Kisah Trelis

#8 Kisah Trelis


—Dahulu, aku adalah seorang manusia ...
***
Namaku adalah Trelis Kakoidis, aku lahir di Yunani pada tahun 2012.
Awalnya aku tinggal bersama keluargaku di Yunani hingga tahun 2014, kemudian pindah menuju India. Namun pada tahun 2018 krisis moneter parah melanda Negara itu. Hal tersebut membuatku terpaksa mengungsi ke Negara lain bersama keluargaku. Selain keluargaku, ada juga keluarga-keluarga lain yang pergi mengungsi ke negara-negara terdekat.
Saat itu aku tak mengerti apa-apa tentang masalah yang menyebabkan kami harus pergi. Satu-satunya hal yang aku tahu hanyalah bahwa kami tidak dapat tinggal di sana lagi, itulah mengapa aku mengikuti kedua orang tuaku.
Pada saat itu, negara Indonesia telah menjadi negara paling sejahtera di Asia. Meskipun masih disebut sebagai negara berkembang, Indonesia sudah hampir menguasai pasar dunia dan menjadi saingan Cina. Mereka telah berhenti menjual bahan mentah dan mulai menjual bahan siap pakai. Mulai dari tusuk gigi hingga mobil listrik, Indonesia telah menjualnya ke seluruh penjuru dunia.
Selain itu, negara Indonesia dikenal dengan penduduknya yang ramah. Para orang tua yakin bahwa mereka akan diterima dengan baik di sana. Bahkan pada tahun 2015, Indonesia telah menerima ribuan korban PHK di Cina untuk dipekerjakan di pulau-pulau terpencil. Tentu, mereka digaji oleh negara.
Karena alasan-alasan itulah kami memilih Indonesia sebagai tujuan pengungsian.
Kapal yang kami tumpangi saat itu benar-benar sempit. Setiap sudut kapal dipenuhi oleh para pengungsi dengan situasi yang sama. Sekitar dua ratus orang berada di kapal tersebut. Membuat udara terasa berat.
Terkadang aku menangis karena merasa kepanasan, tapi orang tuaku dengan sabarnya mengusap rambutku dan mengatakan 'sabar dulu ya ...' hingga aku kelelahan dan tertidur di pangkuannya.
Kami berlayar selama berhari-hari, tujuan kami saat itu adalah pulau Sumatera. Tapi pada hari ke empat, persediaan makanan telah habis. Yang tersisa hanyalah beberapa kardus air minum. Karena hal tersebut, kami harus menahan lapar dan haus di dalam kapal yang kecil itu sedangkan jarak yang harus kami tempuh masihlah sangat jauh. Kami hanya diberi izin untuk meminum air satu teguk per hari. Tentu, satu teguk saja tidaklah cukup. Tapi kami harus bersabar.
Pada hari ke lima, beberapa orang meninggal di atas kapal. Saat itu aku tak bersedih, rasa lapar dan hausku mungkin telah membuat kemanusiaanku mulai memudar. Kami terpaksa membuang mayat-mayat tersebut ke lautan agar tak mengganggu penumpang yang lain.
Pada hari ke enam, beberapa orang meninggal lagi. Kematian di kapal ini sudah seperti hal yang lumrah, kami sudah terbiasa membuang mayat-mayat tersebut ke lautan.
Pada hari ke delapan, persediaan air sudah mulai habis. Kami terpaksa meminum air laut yang asin. Beberapa orang meninggal pula ....
Pada hari ke sepuluh, kami sampai di pulau Sumatera—tepatnya di Aceh—. Tapi kami diminta untuk segera meninggalkan pulau itu setelah menerima bantuan obat-obatan dan makanan. Hal tersebut karena pos pengungsian di tempat itu telah penuh. Oleh karena itu, kami sekali lagi berlayar menuju pulau Jawa.
Setelah dua hari kami berlayar, akhirnya kami sampai di pulau Jawa, Jakarta.
Kami disambut oleh para relawan menuju tenda yang telah dipasang untuk kami. Ketika aku sampai di tenda pengungsian, aroma sup dan roti langsung menggugah selera makanku. Kami pun langsung mengisi tenda pengungsian lalu menunggu para relawan membagikan makanan.
Ahhh, benar-benar nikmat. Aku masih mengingat perpaduan rasa masakan yang aku makan saat itu. Makanan yang aku nikmati saat itu sangatlah enak ibaratkan makanan-makanan yang datang dari surga. Benar-benar enak membuatku merasa tak masalah bila aku mati saat itu juga.
Selama satu bulan kami berada di tempat pengungsian. Tapi pemerintah tak dapat terus menerus memberi bantuan pada kami. Karena hal tersebut, ayahku terpaksa mencari pekerjaan. Dengan kemampuan bahasa Indonesia yang pas-pasan, ayahku menjadi seorang kuli bangunan dan dapat mengontrak sebuah rumah kecil yang sempit. Sedangkan beberapa pengungsi lain—terutama wanita— ada yang menikah dengan penduduk sekitar dan meninggalkan pos pengungsian.
Pernikahan-pernikahan itulah yang menyebabkan adanya pencampuran nama di Indonesia. Sedikit demi sedikit budaya kami terakulturasi dengan budaya Indonesia.
Setelah beberapa bulan ayahku bekerja, ayahku mendaftarkanku ke sekolah terdekat—dengan bantuan kartu Jakarta pintar—. Tentu, bahasa Indonesia ku sangatlah buruk saat itu, tapi aku menuruti perkataannya dan masuk ke sebuah SD.
Sedikit demi sedikit, aku pun mulai menguasa bahasa Indonesia. Hal tersebut adalah berkat bantuan teman-temanku yang telah mendukungku. Aku juga memiliki banyak teman perempuan, hal itu terjadi mungkin karena wajahku yang bisa dikatakan cukup tampan. Yah, walaupun nilai-nilaiku tidak begitu bagus.
Satu tahun berlalu, keluarga kami dianugerahi seorang anak perempuan. Namanya adalah Mari Kakoidis. Ia berbeda tujuh tahun denganku, itu berarti bahwa aku adalah kakaknya. Sebagai seorang kakak aku harus melindunginya.
Tapi beberapa bulan kemudian, para penagih hutang mulai datang ke rumahku setiap harinya. Hal itu terjadi karena hutang ayahku yang terus menumpuk, apalagi setelah persalinan adikku. Terkadang kami tak makan seharian penuh karena harus menyerahkan pendapatan ayahku yang pas-pasan.
Pada tahun 2022, aku lulus dari SD dan melanjutkan ke SMP terdekat. Di sekolah baruku itu, aku bertemu dengan sesama mantan pengungsi. Namanya adalah Paree Pankh, ia begitu ramah padaku.
Berbeda denganku, ia adalah anak yang cerdas, ia selalu mendapat peringkat satu di sekolah—dari cerita yang aku dengar—. Selain itu, ia sering membantu siapa pun yang kesusahan. Ia dijuluki dengan julukan 'si malaikat' di sekolah, rupanya ia dijuluki seperti itu juga pada saat di SD.
Tapi menjadi baik bukan berarti setiap orang menyukainya. Ada pula beberapa orang yang tak menyukai Paree. Salah satu dari orang-orang tersebut adalah Udin Gambut, sang preman sekolah yang paling ditakuti. Ia sering menghina nama Paree dengan sayuran pare.
Terkadang si Udin menjahili Paree di setiap kesempatan. Tapi Paree menghiraukannya dan bersikap seakan tak ada hal apapun yang terjadi. Julukan yang ia miliki bukanlah main-main, bahkan setelah ia mendapat perlakuan-perlakuan tidak baik, ia tak pernah melaporkannya ke pak guru.
Aku tak dapat menolongnya saat itu, aku takut bahwa Udin akan mulai menjahiliku. Tapi meskipun begitu, Paree tak pernah membenciku. Hal itu membuatku ingin meneteskan air mata.
Semester pertama di kelas satu pun berakhir. Seiringan dengannya, adikku masuk rumah sakit karena menderita penyakit hepatitis B.
"Mengapa hal seperti ini terjadi pada adikku?" tanyaku pada Paree.
Paree hanya tersenyum dan mengatakan sesuatu padaku.
"Kau tahu ..." ucapnya sambil menatap langit.
"Apa?"
"Aku ... telah kehilangan salah satu ginjalku."
Sontak aku terkejut mendengarnya.
"Aku terpaksa menjualnya untuk membantu keluarga ..."
Aku tak dapat mengatakan apapun untuk membalas ucapannya.
Aku menyentuh perutku sambil membayangkan ketika aku kehilangan ginjalku. Tapi ... aku bahkan tak mampu membayangkannya.
Aku juga tak mampu memberi dukungan padanya pada saat itu. Jika aku mengatakan 'Oh, aku mengerti', mungkin aku akan menyakiti hatinya.
"Tapi aku tak akan menyerah ..." ucapnya lagi.
Seketika aku mendengarnya, aku merasa seakan diterangi oleh cahaya yang menyilaukan, memberi penerangan dan setitik harapan di dalam hatiku. Ya ... aku juga tak boleh menyerah, aku harus tetap tegar. Seperti dirinya.
"Baiklah ... aku juga tak akan menyerah!" pungkasku sambil mengepalkan tangan.
"Bagus!" balas Paree sambil mengacungkan jempol.
Berkat dukungannya, aku dapat melalui hari-hari beratku saat itu. Setiap hari aku menjenguk adikku berharap bahwa ia akan segera membaik. Di rumah aku belajar dengan giat, untuk membanggakan kedua orang tuaku.
Tapi, hal buruk tak henti-hentinya menimpa keluargaku. Kondisi adikku semakin memburuk tiap harinya, para penagih hutang yang selalu mengusik ketenangan kami, dan makanan mulai menjadi tak tentu kesediaannya. Semua itu membuat kami begitu tertekan dan kebingungan.
Tapi entah mengapa, satu bulan kemudian tak ada satu pun penagih hutang yang datang ke rumahku. Apa ayahku telah melunasi hutang-hutangnya? Lalu, bagaimana caranya? Ia tak pernah menjelaskannya pada kami.
Seiring dengan hal tersebut, kami pindah ke sebuah rumah yang lebih layak. Rumah itu cukup besar yang memiliki tiga buah kamar. Berbeda dengan kontrakanku yang dulu, di sana hanya terdapat satu buah ruang keluarga, satu kamar mandi, satu dan dapur kecil yang kumuh. Kehidupan kami di rumah baru begitu sejahtera. Kami dapat makan tiga kali sehari dengan makanan-makanan yang enak dan bergizi.
Di lain sisi, ruangan rawat adikku dipindahkan ke ruangan VIP. Ia mendapatkan fasilitas yang amat lengkap di sana. Hari demi hari kondisinya mulai membaik. Yah, walaupun masih saaangat jauh dari kata sembuh, tapi aku bersyukur.
Selama dua tahun aku hidup dengan damai seperti itu. Tapi ....
Suatu hari ayahku tak pulang ke rumah.
Aku menatap pintu rumahku itu dengan penuh rasa bingung. Pikiran-pikiran liar menguasai otakku. Berhari-hari kami menunggu kedatangannya, namun ia masih belum juga pulang. Kenapa? Apa yang terjadi padanya?
Pada hari kelima, ibuku tak sengaja memindahkan saluran TV ke acara berita.
"Kasus Penyelundupan Narkoba - inisial KN ditangkap polisi"
Awalnya kami tak begitu menghiraukan berita tersebut, namun ketika tubuh pelaku tersebut diperlihatkan, kami langsung mengetahui siapa yang berada di balik masker hitam itu.
"A-Ayah ...?" sebuah kata keluar secara spontan dari mulutku.
Kako Nothidis, itu adalah nama ayahku. Sangat cocok dengan inisial 'DG' yang ditampilkan di layar televisi.
Saat itu pun aku mengerti mengapa kehidupan kami berubah drastis seperti sekarang ini. Bisnis narkoba memang mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Dan aku tak dapat menyalahkan tindakan ayahku yang berjuang demi keluarganya.
Tapi ..., semua itu hanyalah hal yang semu ....
Kami tahu hukuman apa yang akan diberikan pada ayahku ....
Tak ada yang dapat kami lakukan tentang itu ....
Gerbang kematian baginya telah terbuka di depan mata ....
Memikirkan hal yang sama denganku, ibu yang merupakan seorang perempuan tiba-tiba pingsan seketika setelah menyaksikan berita tersebut.
"Ibu ...!"
Aku bergegas berlari menuju ibuku lalu menggendongnya menuju tempat tidurnya.
Apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya? Saat itu aku bahkan tak dapat membayangkannya.
Keesokan harinya aku absen dari sekolah karena aku dan ibuku dipanggil ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Setelah itu kami pergi ke rumah sakit untuk menyelesaikan urusan administrasi di sana, tapi berakhir dengan dipulangkannya adikku walaupun kondisinya yang masih buruk.
Tiga hari kami diinterogasi oleh polisi, membuatku tak masuk sekolah. Seiringan dengannya, kondisi adikku semakin buruk dan buruk membuat kami semakin tertekan.
Kemudian keesokan harinya aku kembali ke sekolah dan menemukan Paree dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Terpancar sesuatu yang mengerikan dari sorotan matanya disertai perasaan kuat yang tak dapat kujelaskan. Sikapnya pun agak sedikit berbeda dari biasanya, ia menolak membagikan PR-nya.
Setelah beberapa waktu, jam istirahat pun datang.
Aku hanya duduk berpura-pura membaca buku karena tak punya uang.
"Trelis, kemarin kamu kenapa?" tanya Paree menghampiriku.
Aneh ... aku merasakan sesuatu yang aneh ....
Sebelum aku menjawab pertanyaannya, Udin datang menghampiri Paree. Ia pun merangkul pundak Paree dengan tangan kanannya.
"Oi sayur, pinjem duit dong." ucap Udin memalak Paree.
Biasanya, Paree langsung memberikan uang miliknya tanpa melakukan perlawanan apapun atau menjawab dengan sejujurnya bila ia tak memiliki uang, tapi kali ini ia memberikan sikap melawan.
"Hah ...? Gak sudi gua minjemin duit ke anjing kayak lu."
Sontak seluruh isi kelas terkejut mendengarnya, begitu pula denganku.
"Anjing! Lu ngajak berantem?!" sahut Udin sambil mendorong Paree.
"Ayo, sini nih pukul pipi gua, gua udah ga tahan sama lu." balas Paree sambil menunjuk ke pipi kanannya dengan ekspresi mengolok-olok.
"Makan nih anjing!"
Udin melancarkan pukulannya pada Paree dengan sekuat-kuatnya, aku bahkan tak yakin bahwa aku dapat menahannya. Tapi dengan tangan yang begitu kurus, Paree berhasil menahan pukulan tersebut dengan tangan kirinya. Tapi Udin tak berhenti di situ saja, ia kembali melancarkan pukulan dari tangan kirinya ke wajah Paree dengan kekuatan yang sama, tapi pukulan itu dapat di tahan oleh Paree dengan mudahnya.
Kemudian Paree melompat tinggi melewati tubuh Udin bagaikan seorang atlet profesional. Ketika kakinya menyentuh lantai, dengan kedua tangannya masih memegang tangan Udin, Paree membanting tubuh Udin sekeras-kerasnya dengan pantat Udin yang lebih dahulu menabrak lantai.
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHH!"
Udin berteriak kesakitan hingga suaranya dapat terdengar dari luar.
Dengan bantingan seperti itu, bisa dipastikan bahwa tulang ekornya patah. Darah mulai mengalir dari bagian belakang Udin menodai putihnya lantai.
Aku terkejut setengah mati lalu mencubit kulitku memastikan bahwa kejadian yang baru saja kulihat adalah hal yang nyata.
Mendengar teriakan Udin yang begitu keras, pak guru langsung masuk ke kelas karena khawatir. Ia terkejut dengan pemandangan yang berada di depannya.
"P-Paree, ini kamu yang ngelakuin?!" tanya pak guru dengan nada terkejut.
"Iya pak ..." balas Paree dengan wajah polos.
Paree pun mengalihkan pandangannya pada kedua lengan Udin yang masih dipegangnya.
"Lepasin! Lepasin!" perintah pak guru.
Pak guru mendekat berniat melerai perkelahian mereka karena tak tega mendengar teriakkan Udin yang begitu terlihat kesakitan. Tapi ....
"Diem lo anjing!" sahut Paree dengan ekspresi marah.
Sekali lagi Paree mengucapkan kata-kata yang tak terduga. Sorot matanya yang tajam menusuk dada si pak guru dan membuatnya tak mampu melangkahkan kakinya.
Penyiksaan Paree tak berhenti di situ saja, ia melepaskan lengan kanan Udin lalu memegang lengan kiri Udin dengan kedua tangannya.
*Krek*
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHH!!! AMPUN! AMPUN!!! AMPUN PAREE!!"
"Kiiii!"
Para murid wanita menjerit ketakutan.
"AMPUN ..., GUA MINTA MAAF, TOLONG PAREE ..., MAAFIN GUA!!"
Udin merenges kesakitan.
Kemudian ekspresi puas yang mengerikan tergambar di wajah Paree, ia menampilkan senyuman yang begitu jahat di wajahnya.
Pak guru yang merasa tak mampu melerai mereka langsung berlari menuju kantor mencari guru olah raga yang lebih perkasa darinya.
Tapi ia terlambat ... ketika pak guru kembali, tangan kiri dan kaki kanan Udin telah patah.
"HAHAHAHAHAHAHA!
HAHAHAHAHAHAHA!" Paree lalu tertawa lepas di hadapan banyak orang, suaranya begitu mencekam membuat siapa pun merasakan ketakutan yang amat luar biasa.
"TUAN LUCIFER! TERIMAKASIH! KAU TELAH MEMBUKA KEDUA MATAKU!" teriaknya sambil menatap langit-langit.
"Makan tuh anjing ..." ucap Paree sambil menginjak-nginjak wajah Udin dengan sepatunya.
Saat itu Udin telah kehilangan kesadarannya, mungkin ia menerima shock ketika tangan dan kakinya dipatahkan.
Aku yang tak kuasa melihat kepribadian temanku yang begitu jahat bangkit dari bangkunya lalu memegang bahu Paree dari belakang.
"Udah Gus, dia udah pingsan." ucapku dengan lembut.
Kemudian Paree mulai berhenti menginjak-nginjak Udin lalu berbalik ke arahku.
*gulp*
Aku menelan ludahku sendiri karena ketakutan. Tatapannya begitu tajam membuatku memalingkan mukaku.
Kemudian ia berbisik padaku.
"Ayahmu akan di hukum mati kan??"
"Heh ...?"
Bagaimana ia bisa tahu? Aku bahkan belum pernah menceritakannya pada siapa pun.
"Kondisi adikmu semakin parah kan??"
Sekali lagi tebakannya benar.
"Carilah gusti Lucifer, ia akan mengubah hidupmu ... Ia juga bisa menyembukan penyakit adikmu ... namun semua itu bisa terjadi kalau kamu memang orang yang pantas."
Bagaikan iblis yang jahat, ia memberi penawaran padaku.
"Hahahaha, hahahahaha!" Paree berjalan keluar kelas dengan tenangnya, tak ada satu pun orang yang berani menghentikan dia.
Karena kejadian itu, semua siswa dipulangkan.
Keesokan harinya aku tak masuk sekolah, aku harus merawat adik dan ibuku yang tak bisa melakukan apa-apa. Kurasa ... aku harus berhenti sekolah ....
Hari eksekusi pun datang, aku tak dapat menemukan ibuku di manapun. Hanya aku yang datang menyaksikan eksekusi ayahku.
Di depan mataku terlihat empat orang tentara membelakangi diriku, beberapa meter di depannya aku bisa melihat ayahku berdiri mengenakan seragam kuning khas penjara.
*Dor!*Dor*Dor*Dor*
Terdengar empat suara ledakan dalam satu waktu, namun hanya satu peluru yang keluar. Peluru itu menembus jantung ayahku, membuatnya berlubang berdarah. Seketika itu pula ... ayahku tewas di tempat.
"Kh ...!" aku tak kuasa menahan kesedihanku, air mataku berlinang begitu deras tak dapat kubendung.
Setelah itu, aku pulang ke rumahku dengan mata yang masih memerah.
Aaah merah, merah darah ayahku tak dapat kulupakan. Mengalir dengan perlahan, lalu sedikit demi sedikit mengkikis nyawanya. Seketika kuingat kebahagiaan semu yang kami jalani, dalam sesaat dunia terasa sangat indah.
Pikiranku mulai kacau, keputusasaan mengguyur seluruh tubuhku. Aaah, aku merasa ingin mati. Ingin kupenggal kepala ini, mengakhiri penderitaan.
Kuberjalan perlahan pulang. Pandanganku kosong, hatiku kosong, pikiranku kosong. Kemudian di sisi seberang jalan, kulihat seorang gila sedang memungut makanan dari tempat sampah.
Pakaiannya kotor, kulitnya kusam, lalat berputar-putar mengelilinginya. Kemudian ia temukan sepuntung rokok yang masih menyala, lalu menikmatinya dengan wajah yang tenang.
Seketika itu aku merasa iri. Bagaimana bisa, ia hidup seperti itu??? Bagaimana bisa, ia memasang senyuman di wajahnya seperti itu??? Ia terlihat begitu bahagia, walaupun dengan penampilan yang benar-benar berantakan.
Aaah, andaikan aku gila seperti dia.
Jika saja trauma yang baru saja kualami membuatku gila, bisakah aku tersenyum sepertinya???
Ternyata ..., tak semua kegilaan itu buruk. Beberapa kegilaan dapat membuat seseorang bahagia.
Gila cinta, gila harta, gila wanita. Jika suatu kegilaan membuatmu bahagia, naka jagalah kegilaan itu.
Sekali lagi kukatakan, tetaplah gila! Jagalah kebahagiaanmu. Walaupun semua itu hanyalah kesemuan belaka, setidaknya hal itu lebih baik dari pada menderita.
Kuhampiri orang gila itu, kutatap wajahnya.
Kurebut rokoknya, kuludahi tubuhnya, kupukul pipinya keras-keras.
Kuinjak-injak ia, lalu kutendang tulang hidungnya.
Kemudian aku tertawa dengan lantang, berjalan meninggalkannya.
Orang-orang menatapku heran, tapi tak kupedulikan..
Kuhisap puntung rokok, kurasakan asap kotor masuk ke dalam paru-paruku.
*ohok*
Tenggorokanku tersedak, ini pertama kalinya aku merokok.
Kulewati gedung-gedung, kulewati toko-toko. Kubernyanyi dengan lantang.
"AAAAAAAANJING! ANJING, ANJING! A-A-AN JING! HAHAHAHAHA! HEI KAMU YANG DISANA, KAMU SEPERTI ANJING!!" ucapku pada seorang preman.
Tak heran, seketika itu pula ia memukul wajahku yang tampan menimbulkan memar di bawah mata.
Aku pun bangkit, lalu kuteruskan langkahku.
Hingga sampailah aku melewati jembatan sungai. Jarak rumahku hanya tinggal beberapa ratus langkah lagi.
Kupalingkan pandanganku menikmati pemandangan sungai, namun yang kutemukan di sana adalah kerumunan orang.
Lalu kulihat pak RT melirik ke arahku, seketika itu ia meminta seseorang untuk datang padaku. Seketika ia sampai di hadapanku, ia pun menarik tangankanku dengan buru-buru.
"Ada apa mas Dani ...?"
"Ibumu ... ia ... lompat dari jembatan ...."
"Ha.....—!"
Tubuhku melemas, nafasku terasa sesak, lututku melumpuh tak mampu berdiri.
"Trelis ..." gumamnya padaku.
Seketika itu pun ia mengangkat tubuhku, lalu menggendongku di punggungnya.
Setelah beberapa langkah, kami pun sampai di tepi sungai.
Dan di sana kulihat ....
Darah keluar dari kepalanya, tubuhnya begitu pucat bagaikan boneka, kedua matanya melotot tanda kesakitan.
Mengapa?! Ibu! Mengapa engkau melakukannya?!
Mengapa semua ini terjadi keluargaku?!
Penderitaan ini, tragedi ini?!
Apa salah kami?! Apa dosa kami?!
Aku berteriak dalam hatiku.
Setelah itu, ibuku dibawa ke rumah sakit dan aku meninggalkan adikku di rumah.
Aku dilarang memasuki ruangan autopsi di sana, dengan wajah yang begitu suram aku pulang dengan jalan kaki. Air mata menetes seiring dengan langkahku, aku merasa bahwa aku ingin mati pada saat itu.
Aku telah kehilangan harta dan kedua orang tuaku. Bagaimana mungkin aku bisa menghidupi diriku dan adikku sendirian? Saat itu aku benar-benar bingung.
Apa lebih baik aku membunuh adikku saja? Apa lebih baik aku mengakhiri hidupku saja? Pikiran buruk menguasai diriku. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
Pada saat tengah malam, aku tiba di rumah. Aku pun pergi menuju dapur, lalu membawa sebilah pisau. Kemudian aku masuk ke kamar adikku dengan niatan membunuhnya.
Aku membuka pintu kamar adikku dengan perlahan agar ia tak bangun dari tidurnya, namun ketika aku mengintip ke dalam kamarnya, kudapati seorang perempuan cantik sedang mengelus-elus kepala adikku.
Perempuan itu terlihat sebagai seseorang yang berumur 18 tahun. Parasnya begitu cantik dan menawan. Rambutnya panjang sebahu berwarna kecoklatan, matanya begitu bening dan indah, bibirnya merah merona seperti mawar. Ia mengenakan pakaian tanpa lengan yang berwarna merah dengar rok setengah paha. Kulitnya begitu mulus dengan warna putih pucat seputih sinar rembulan.
Jika situasinya tidak seperti ini, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya.
Ia mengalihkan pandangannya padaku seketika menyadari keberadaanku.
"Masuklah nak..." ucapnya seperti orang tua yang berbicara pada anak-anak.
Dengan penuh rasa terkejut aku masuk ke dalam kamar adikku sambil menyembunyikan sebilah pisau di punggungku.
"S-siapa kau ...??" tanyaku dengan tubuh gemetar. Aku sudah siap jika aku harus membunuhnya juga.
Perempuan itu tersenyum lalu menjawab pertanyaanku.
"Aku adalah ratu penyelamatmu ..." balasnya sambil menatapku.
"Ratu ...?" gumamku.
"Ya, ratu, aku dapat menolongmu ..."
"..." aku terdiam mencoba mencerna ucapannya.
"Singkatnya, aku dapat membuat hidupmu menjadi lebih baik serta menolong adikmu." ucapnya lagi sambil mengelus-elus kening adikku.
Setitik harapan muncul di hatiku.
"A-apa yang harus aku lakukan?"
Perempuan itu tersenyum.
"Kau harus menjadi pelayanku ..." ucapnya.
"Pelayan?"
"Ya, pelayan. Akan aku buat kau menjadi vampir."
Seketika aku mendengar kata 'vampir', harapanku benar-benar hancur. Tak salah lagi, wanita ini hanyalah orang gila.
"Orang aneh ..." ucapku.
"Kalau kau tak percaya ... tusuk dadaku dengan pisau itu ..."
Perempuan itu pun membuka pakaiannya hingga telanjang, aku dapat melihat payudara dan kemaluannya saat itu.
Sudah kuduga, ada yang salah dengan kepalanya.
Aku terdiam memikirkan apa langkah selanjutnya yang akan aku lakukan.
Bunuh aja! Lalu perkosa!, setan dalam diriku berbisik. Lagi pula, setelah semua ini aku akan membunuh diriku sendiri.
"Aaah, lama!"
"Eh— ..."
Dengan tubuh telanjangnya, perempuan itu merebut pisau yang aku sembunyikan lalu menusukkannya ke dalam dadanya.
"Ugh, ternyata lumayan sakit."
Aku tercengang melihat apa yang baru saja terjadi di depanku.
"Sekarang, coba lepas ..."
Perempuan itu menyodorkan dadanya ke hadapan mukaku.
*gup*
Aku menelan ludah teralihkan kedua payudaranya.
Dengan berat hati, secara perlahan aku menarik pisau tersebut.
"Pelan-pelan ..."
Aku menuruti ucapannya, secara perlahan aku menarik pisau itu hingga keluar.
Kemudian, luka yang berada di dada perempuan itu langsung tertutup meninggalkan bekas merah.
Aku bisa melihat darah merah yang masih bersandar di pisau tersebut.
"Apa kau percaya padaku?" tanya perempuan telanjang itu.
Aku mengangguk dengan penuh keraguan, tapi aku tak punya pilihan selain mempercayainya.
"Jadi, apa kamu mau jadi pelayanku?" tanya perempuan itu lagi.
Aku terdiam sejenak memikirkan jawabanku.
"Tapi kenapa harus aku?"
Aku ingin mengetahui alasannya memilihku.
"Karena kau memiliki darah setan dalam dirimu ...." balasnya.
"Darah setan?"
Lagi-lagi aku dibuat bingung olehnya.
"Ya, kau adalah keturunan manusia langka di bumi ini. Darahmu begitu manis dan enak untuk para vampir minum. Aku menyadarinya ketika darah ibumu mengalir di sungai tempat ia bunuh diri."
Aku teringat kembali pada kematian ibuku yang begitu tragis.
"Bagaimana dengan adikku?"
Perempuan itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Darahnya berpenyakit ... aku tak mau meminumnya."
Kurang lebih aku mengerti apa alasannya memilihku.
"Jadi ... apa yang harus aku lakukan? Wahai ratu ..."
Jika ia memang seseorang yang hendak menolongku, aku tak keberatan memanggilnya dengan sebutan ratu. Mungkin apabila yang datang saat itu adalah iblis, aku akan melakukan hal yang sama padanya.
"Lepaskan pakaianmu nak ..." perintahnya padaku.
Suaranya begitu berwibawa, membuatku melepaskan semua pakaian yang menyelimuti tubuhku.
Jam menunjukkan angka dua belas malam. Udara begitu sunyi dan dingin, yang dapat kudengar hanyalah suara serangga-serangga malam. Aku melihat ke luar jendela, cahaya bulan menembus kaca-kaca yang rapuh menerangi tubuh sang ratu. Kecantikannya begitu luar biasa, mungkin ia adalah perempuan paling cantik yang ada di dunia ini.
Perlahan demi perlahan sang ratu mendekat ke arahku. Ia membuka mulutnya lebar-lebar memamerkan kedua taring putihnya yang indah. Ia mengusap tubuhku dengan tangannya. Sentuhannya begitu lembut dan nyaman dan erotis, menggugah hasratku.
Bintang-bintang bersinar terang, mewarnai gelapnya malam.
Perempuan itu pun menggigit leherku. Aku merasakan sakit seperti di gigit semut. Rasa sakit tersebut secara perlahan berubah menjadi rasa nikmat. Aku merasa seluruh tubuhku panas di malam yang dingin ini.
"Ahh ..."
Aku mendesah, aku merasakan darahku yang dihisap sedikit demi sedikit. Setelah beberapa waktu, pandanganku pun dihiasi oleh warna merah darah. Aku tak dapat membedakan warna apapun, pandanganku seakan tertutup oleh kaca yang berwarna merah.
Aku merasakan hal yang aneh di mulutku. Rasanya seakan-akan gigiku ditarik keluar oleh sesuatu, sedikit ngilu seperti saat aku meminum air es yang dingin. Tanpa kusadari aku membuka mulutku lebar-lebar.
Hidungku mulai mencium aroma-aroma aneh. Aroma-aroma tersebut begitu menusuk dan membuat perutku terasa lapar.
—Darah
—Aku menginginkan darah
Pikiranku mulai kosong, aku tak dapat berpikir. Sedikit demi sedikit kelopak mataku turun menutupi mataku. Dan di sana ..., aku melihat kegelapan ...
Aku pun kehilangan kesadaranku saat itu.
Keesokan harinya aku terbangun. Ketika aku menyadarinya, aku tiba-tiba berada di sebuah ruangan yang begitu mewah. Aku melihat ke sekitarku, di sana aku melihat berbagai buku dan meja-meja yang terbuat dari kayu. Di dindingnya aku melihat lukisan-lukisan yang sangat luar biasa. Kemudian seseorang keluar dari balik pintu.
—Ratu
Ia berdiri di sana dengan hanya mengenakan handuk. Aku dapat melihat belahan dadanya dengan jelas. Seketika itu pandanganku berubah menjadi merah dan aku merasa seolah gigiku ditarik sesuatu.
"Hoo, jadi kamu sudah lapar ya ...?" ucap sang ratu.
Aku merasa sesuatu bergejolak dalam diriku.
"R-ratu ... perasaan aneh apa ini???"
Ratu tak menjawab pertanyaanku dan hanya tersenyum. Ia pun mengeluarkan sebilah pisau yang berwarna perak lalu menyayat pergelangan tangannya.
Darah merah keluar menetes ke lantai. Aku merasakan aroma nikmat luar biasa dari sana. Tubuhku bergerak dengan sendirinya menghampiri tetesan-tetesan darah tersebut.
"Minumlah ..."
Kemudian aku mendekatkan mulutku ke tangannya lalu menggigitnya dengan taringku.
Ahhh! Benar-benar nikmat! Rasanya lebih nikmat dari makanan dan minuman apapun yang pernah aku rasakan.
Cairan kental membasahi mulutku, lalu mengalir ke tenggorokanku meninggalkan sensasi kental yang begitu dalam.
Beberapa menit berlalu, aku pun melepaskan gigitanku.
"Apa kau sudah puas??" tanya sang ratu memastikan.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Baguslah ..."
Pikiranku pun mulai kembali, aku merasa lebih baik dari sebelumnya. Aku merasa hebat! Aku merasa pikiranku begitu jernih!
Aku pun teringat kembali pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Eksekusi ayahku, kematian ibuku, kondisi adikku yang buruk. Aku juga teringat hal tak terlupakan pada hari di mana Paree tiba-tiba berubah menjadi jahat.
—"Carilah gusti Lucifer, Ia bisa menyembukan penyakit adikmu" —
Bagaikan seorang iblis, aku merasakan kata-katanya menusuk ke dalam hatiku.
"Wahai ratu ... apakah kau tahu sesuatu tentang Lucifer?"
"Tentu saja ... memangnya ada apa dengan itu?"
Aku berhenti sejenak memilih kata-kata.
"Aku membutuhkan pertolongannya, untuk menyelamatkan adikku."
Wajahnya berubah cemberut.
"Tidak kuizinkan! Itu berarti kau akan menjauh dari diriku!
Kau tahu, kau harus menjadi iblis terlebih dahulu sebelum mendapatkan mukzizatnya ..." bentaknya padaku.
"T-tapi ..."
"Kau tak perlu khawatir, adikmu akan terus hidup selama kau bersamaku. Aku takkan membiarkanmu pergi ke mana pun. Sejak aku meminum darahmu, aku merasa seakan aku menginginkannya lagi dan lagi." ucapnya sambil memegang pundakku.
"B-baiklah ..."
Awalnya aku mengikuti perkataannya.
Selang beberapa bulan, kondisi kami menjadi terbalik.
Sang ratu aku jadikan budak dan aku menjadi tuannya. Bagaimana bisa? Mudah saja, setelah ia meminum darahku lagi dan lagi, aku mulai melihat sebuah celah yang dapat aku gunakan untuk memanfaatkannya.
Pada saat itu adalah tengah malam. Ia memintaku untuk memberikan darahku padanya, tapi aku menolak.
"Cepat berikan, Trelis!" perintahnya dengan nafas terengah engah.
"Aku akan memberikannya jika kau menggonggong seperti anjing."
"Apa yang kau katakan?!"
"Sudah kubilang, menggonggonglah seperti anjing ..."
"Tidak akan aku laku— Ahhh!!!"
Tubuhnya terlihat lemas bagaikan seseorang yang sakau akibat narkoba.
"Menggonggonglah ..."
"Ti-tidak akan ...!"
Aku tersenyum mengolok-olok.
"Kalau begitu, takkan kuberikan ..."
"Ahhh ...! Tolonglah Trelis ..., aku tak tahan lagi ..."
Wajahnya memerah bagaikan orang yang demam.
"Menggonggonglah ..." perintahku sekali lagi.
"B-baiklah ..."
Sang ratu pun merangkak, lalu menggonggong seperti anjing.
"Bagus ... sekarang kau boleh meminumnya."
Aku mengambil pisau perak yang biasa ia gunakan untuk mengiris tangannya.
Dengan sigap sang ratu menyergap pergelangan tanganku lalu meminum darahku dengan cukup kasar.
Sejak saat itu, sang ratu—Sheyn dan para pelayannya menjadi budakku.
Aku memerintahkan mereka untuk mencari sang Lucifer, kemudian secara tak sengaja aku melihatnya di TV.
"Putra Fajar - Investor termuda yang menguasa Asia"
Ada beberapa hal aneh tentang dirinya. Pertama, namanya yang aneh dengan wajah khas orang Indonesia. Kedua, ia baru berumur 16 tahun.
Dilihat dari sisi manapun, hal seperti itu tidaklah masuk akal. Awalnya kukira ia hanyalah salah satu dari pengikut Lucifer, tapi setelah Sheyn menyamar sebagai seorang siswi di sekolah miliknya selama satu tahun, ia memastikan bahwa orang yang bernama Putra Fajar tersebut adalah Lucifer yang sebenarnya.
Seiringan dengannya, kondisi adikku semakin parah. Aku harus segera bertemu denganNya.
Kemudian, pada tahun kedua aku pun masuk ke sekolah tersebut. Aku masuk ke kelas yang sama dengan gusti Lucifer. Bahkan aku sudah bisa merasakan aura mengerikan ketika aku menjejakkan kaki ke dalam kelas tersebut.
Aku pun memperkenalkan diriku.
"Perkenalkan, namaku Trelis Humana."
Pada saat aku memperkenalkan diriku, Ia terlihat acuh tak acuh. Ia bahkan tak mendengarkan perkenalanku dengan serius.
Aku pun duduk di bangku paling belakang, satu bangku di belakang Lucifer.
Ketika aku melewatinya, secara tidak sengaja aku bergumam.
"Tuan Lucifer ..."
"....—!"
Ia terlihat begitu terkejut ketika mendengar ucapanku.
Kemudian, pada saat jam kosong, aku keluar dari kelas lalu duduk di samping Lucifer. Aku pun meminta padanya untuk dijadikan seorang iblis, tapi ia menolak permintaanku mentah-mentah.
Lalu, aku melihat sebuah pesan dalam VPhone-ku.
—"Kondisi adikmu semakin memburuk"—
"...—!"
Pesan tersebut menjadi dorongan bagiku buntu memohon padanya sekali lagi.
"Aku mohon!"
"Tidak! Pembicaraan kita selesai di sini saja."
Aku benar-benar merasa sakit hati. Ia meninggalkanku begitu saja.
"Sial!" gumamku.
Aku pun melihat pesan berdatangan secara terus menerus, rasa khawatir menguasaiku. Dalam diriku, aku merasa sesuatu telah terbangun dari tidurnya.
Tapi tak ada gunanya bila aku datang ke sana, mereka akan menyuruhku menunggu di luar. Yang bisa kulakukan hanyalah menunggu kepastian dari kondisi adikku.
Kemudian aku kembali ke kelas sambil membaca pesan-pesan tersebut satu demi satu.
Ketika aku hendak memasuki kelas, aku merasakan hal yang mengerikan di dalam sana. Naluriku mengatakan padaku untuk menyaksikan dari kejauhan.
Tapi, perasaan itu pun lenyap seketika setelah seorang wanita cantik memeluk gusti Lucifer dari belakang.
Di sisi lain aku masih merasa putus asa dan kesal yang amat karena jawaban yang gusti Lucifer berikan padaku.
—"Jantungnya sempat terhenti untuk beberapa saat, namun kami berhasil mengembalikannya" —
Aku merasa lega mendengarnya. Sepulangku dari sekolah, tiba-tiba aku merasakan rasa amarah yang tidak jelas. Aku tak dapat mengendalikan diriku. Aku menyiksa Sheyn hingga ia tak sadarkan diri.
Sejak saat itu, setiap aku bertemu gusti Lucifer, aku merasa sesuatu mencoba mengambil alih diriku, bahkan terkadang aku tak ingat dengan sesuatu yang telah kukerjakan.
=========================


Posted by castrix, Published at 02.49 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar